Tanah Warisan | Jilid 2

Lanjutan dari jilid 1

Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, ibunya telah berdiri di ambang pintu pringgitan. Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan serta merta ia bertanya, “Bukankah tidak terjadi sesuatu atasmu Bramanti?”

Bramanti tersenyum. Jawabnya, “Tidak ibu. Aku hanya menonton saja.”

“Oh,” ibunya mendesah. “Syukurlah. Aku selalu dibayangi oleh kecemasan tentang kau. Aku melihat sikap anak-anak yang tidak begitu baik terhadapmu.”

“Aku berusaha menyesuaikan diri ibu. Aku tidak mendekati mereka. Aku melihatnya dari kejauhan, di antara orang-orang tua, perempuan dan kanak-kanak.”

Ibunya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Bagaimana dengan kedua anak-anak muda yang ikut dalam pendadaran itu?”

“Suwela dan Panjang, yang kedua-duanya cukup baik untuk menjadi anggota pengawal. “Bramanti berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi justru itulah yang mengherankan. Ternyata disini ada beberapa orang yang memiliki kemampuan yang cukup. Namun tidak seorangpun yang berani melawan Panembahan Sekar Jagat. Apalagi ikut serta dalam pergolakan yang terjadi antara Pajang dan Mataram.

“O, jangan berbicara tentang itu lagi Bramanti,” potong ibunya, “Berbicaralah tentang halaman ini, tentang rumah ini dan tentang Kademangan ini.”

“Aku juga sedang berbicara tentang Kademangan ini ibu. Bukankah masalah Panembahan Sekar Jagat itu juga masalah Kademangan ini, dan masalah Pajang dan Mataram itu juga akan menyangkut langsung Kademangan ini? Apakah kita akan berpangku tangan selagi Mas Ngabehi Loring Pasar berusaha membangun suatu pemerintahan yang akan dapat memperbaharui wajah kerajaan Pajang yang sudah mulai suram karena solah Hadiwijaya yang agak sisip saat terakhir.”

“Oh,” ibunya berdesah. “Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu. Tidak seorang pun dari Kademangan ini yang melibatkan diri dalam persoalan yang tidak dimengertinya”.

“Ya, itulah yang membuat kita semua disini menjadi kerdil.”

“Bramanti,” desis ibunya kemudian. “Sebaiknya kaupun tidak perlu ikut melibatkan diri dalam persoalan yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan kita disini.”

Bramanti tidak menjawab, tetapi sorot matanya membayangkan gejolak hatinya sehingga ibunya berkata, “Kau pasti akan pergi lagi dari rumah ini.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Ia merasa bahwa tidak ada gunanya lagi berbantah dengan ibunya. Ibunya adalah salah seorang yang pendiriannya dapat lepas dari pendirian kebanyakan orang di Kademangan ini, meskipun ibunya seakan-akan terpencil.

“Apakah kau mengerti maksudku Bramanti,” bertanya ibunya.

Bramanti menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya bu. Aku mengerti.”

“Bagus. Dengan demikian kau tidak akan pergi lagi dari rumah ini.”

Bramanti terdiam.

“Apapun yang terjadi di dunia di luar dunia kita biarlah itu terjadi. Kita tidak perlu ikut mencampurinya.

Bramanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja mengangguk-angguk meskipun dadanya bergolak. Ia merasa bahwa masalah yang di-katakannya itu adalah masalah yang asing bagi ibunya.

Ketika ibunya kemudian pergi ke dapur, maka Bramanti itupun turun pula ke halaman. Pengamatannya yang pendek atas kampung halamannya telah menumbuhkan banyak persoalan di dalam dirinya. Sekali-kali dirabanya jalur-jalur merah di tubuhnya. Untunglah bahwa ibunya tidak melihatnya, sehingga perempuan tua itu tidak mempersoalkannya. “Sampai kapan aku dapat menahan diri menghadapi semua persoalan semacam ini,” desisnya. “Pada suatu saat aku tidak akan dapat menahan hati lagi.”

Bramanti menjadi cemas sendiri. Apa yang dialaminya benar-benar membuat hatinya terlampau pedih. “Mungkin tidak ada seorang pun yang akan bersedia menerima hinaan serupa ini,” katanya kepada diri sendiri, sehingga Bramanti sendiri kadang-kadang menjadi ragu-ragu, apakah yang dilakukan itu sudah tepat. “Setiap orang pasti akan mentertawakan aku. Dan apakah memang demikian yang dimaksud oleh guru?” Pertanyaan serupa itu selalu saja mengganggunya. Namun akhirnya diletakkannya alasan yang selalu memperkuat sikapnya.

“Tidak setiap orang berada dalam keadaan yang pahit seperti aku. Tidak semua orang mempunyai seorang ayah seperti ayahku. Agaknya itulah yang membuat aku lain dari orang-orang lain.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam, kemudian diambilnya cangkulnya dan mulailah ia menyiangi tanaman di halaman rumahnya.

Ayunan tangannya berhenti ketika ia melihat melalui pintu regol halamannya, beberapa anak-anak muda lewat di jalanan di depan rumahnya. Di antaranya mereka adalah Panjang, anak muda yang baru saja menyelesaikan pendadaran tingkat pertama.

Tetapi Bramanti tidak menegur mereka. Ketika anak-anak muda itu telah lalu, maka kembali ia mengayunkan cangkulnya, sehingga keringatnya membasahi seluruh bagian tubuhnya.

Namun demikian, angan-angannya masih saja tersangkut kepada sifat-sifat anak-anak muda di Kademangan ini. Mereka ternyata bukan pengecut. Tetapi kenapa mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu pada saat serupa ini?

“Menangkap harimau bukan pekerjaan yang mudah,” desisnya sambil menggeliat. Kedua tangannya bertelekan ke pinggang. “Tetapi aku kira mereka berdua akan dapat melakukan pekerjaan mereka dengan baik. Aku akan bergembira sekali apabila aku mendapat kesempatan untuk menyaksikan pergulatan itu.”

Bramanti tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berdesis, “Aku akan mencoba melihatnya.”

Agaknya Bramanti benar-benar ingin melihat, bagaimana tandang kedua anak-anak muda itu menghadapi seekor harimau. Karena itu, maka Bramantipun harus tahu benar, apakah benar-benar ada seekor harimau yang sering mendekati dan bahkan memasuki Kademangan mereka.

“Harimau itu akan keluar dari sarangnya di malam hari,” desisnya. “Dengan demikian, akupun harus keluar di malam hari.”

Keinginan Bramanti itu benar-benar tidak dapat ditahannya lagi, sehingga ketika malam turun, ia berkata kepada ibunya, “Nanti malam aku akan tidur di luar saja bu.”

Ibunya mengerutkan keningnya, “Kenapa?” ia bertanya.

“Terlalu panas. Aku kira, di luar, dibekas kandang itu, udara tidak sepanas di dalam rumah.”

“Tetapi……,” suara ibunya terputus.

“Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin tidur nyenyak dalam udara yang sejuk.”

Ibunya mengangguk-angguk meskipun ia masih menyimpan beberapa pertanyaan di dalam hatinya. Namun kemudian ia berkata, “Terserahlah kepadamu Bramanti.”

Sebenarnyalah, kemudian Bramanti membawa sehelai tikar dan dibentangkannya di atas setumpuk jerami di bekas kandangnya yang telah diperbaikinya pula. Ternyata udara di dalam kandang itu cukup hangat. Bahkan lebih hangat daripada di dalam rumah yang dikatakannya terlampau panas itu. Tetapi Bramanti sama sekali tidak dapat berbaring dengan tenang. Tidak saja kakinya, tetapi tangannya, dan bahkan telinganya selalu dikerumuni oleh nyamuk yang berdesing-desing.

Tetapi Bramanti memang tidak ingin tidur. Ia ingin pergi dengan diam-diam.

Ketika malam menjadi semakin larut, Bramanti segera berkemas. Perlahan-lahan ia mendekat bilik ibunya, dan perlahan-lahan ia mengetuk sambil memanggil, “Bu, ibu?”

Tetapi tidak ada jawaban.

“Ibu sudah tidur,” desisnya. Dengan demikian maka ia telah mendapat kesempatan untuk meninggalkan kandang itu dengan diam-diam.

Sejenak kemudian, maka Bramantipun telah berada di jalan yang menunju ke bulak ke sebelah Kademangannya. Bulak itu langsung menghadap kehutan yang meskipun tidak terlampau lebat, namun masih dihuni oleh berbagai macam binatang buas.

“Kalau benar ada harimau tua yang berkeliaran di desa ini,” berkata Bramanti di dalam hatinya. “Pasti berasal dari hutan itu.” Karena itu, maka Bramanti ingin melihatnya, apakah Suwela dan Panjang juga mencari harimau di daerah itu.

Dugaan Bramanti ternyata benar. Ketika ia keluar dari Kademgannya, ia melihat sosok tubuh yang duduk berselimut kain panjang. Dengan demikian, maka Bramantipun segera menyelinap ke dalam rimbunnya dedaunan. Untunglah bahwa ia masih belum terlanjur melangkah keluar pedesaan, sehingga kedua orang yang berselimut kain panjang itu belum melihatnya.

Dengan hati-hati sekali, Bramanti menyusur dinding desanya, kemudian meloncat keluar. Sambil merangkak ia menyusup di sela-sela tanaman jagung yang masih muda mendekati kedua sosok tubuh yang sedang duduk itu.

Lamat-lamat Bramanti mendengar salah seorang dari mereka berkata, “Sebentar lagi kita berangkat,” Ternyata suara itu adalah suara Suwela.

“Ya,” sahut yang lain, “Apakah Temunggul akan datang kemari juga?”

“Ya, ia akan ikut bersama kami, meskipun ia hanya sekadar akan melihat.”

“Agaknya ia tidak percaya, bahwa kami berdua akan sanggup menundukkan harimau itu.”

“Mungkin, tetapi mungkin juga ia tidak yakin, bahwa kami akan melakukannya. Agar kami tidak curang dengan membawa beberapa orang kawan lagi, maka ia akan mengawasinya.”

Kemudian mereka pun diam untuk sejenak. Agaknya Panjang tidak cukup sabar menunggu, sehingga sambil berdiri ia berkata, “Kalau ia tidak segera datang, kita akan meninggalkannya. Seharusnya ia mempunyai keberanian cukup untuk menyusul kami.”

Suwela tidak menjawab, bahkan ia menguap sambil berdesis, “Aku sudah ngantuk. Waktu yang diberikannya hanya sepekan. Apakah sebagian terbesar waktu kita akan habis untuk menunggu, kemudian kami dinyatakan tidak memenuhi syarat.”

“Itu dia,” tiba-tiba Panjang memotong.

Suwela mengangkat wajahnya. Di pandanginya sesosok tubuh yang berjalan tergesa-gesa ke arah kedua anak-anak muda yang kedinginan itu.

“Apakah kalian telah siap?” bertanya orang yang baru datang itu, yang ternyata adalah Temunggul.

“Tentu,” jawab Suwela.

“Apakah senjata kalian?”

Suwela menunjukkan tangkai pisau belati panjangnya, “Aku membawa dua bilah pisau panjang.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Panjang ia bertanya, “Dan kau?”

“Panjang, silakan kalian pergi. Daerah ini adalah daerah jelajah harimau itu sebelum ia memasuki Kademangan untuk mencuri ternak. Bahkan mungkin lambat laun akan menangkap salah seorang dari antara kita.”

“Apakah kau akan ikut?” bertanya Panjang.

Temunggul tidak segera menjawab. Ditatapnya bulak yang panjang di hadapannya. Kemudian sebuah padang ilalang. Di belakang padang yang tidak terlampau luas itu terdapat sebuah hutan yang masih dihuni beberapa jenis binatang buas.

Akhirnya perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya, “Aku tidak ikut. Adalah kuwajiban kalian berdua untuk menangkap harimau itu, supaya kalian dapat diterima menjadi pengawal Kademangan.”

“Lalu, apakah gunanya kami berdua harus menunggumu disini?”

“Semula aku agak ragu-ragu melepaskan kalian berdua. Tetapi setelah aku sekarang melihat kelengkapan dari tekadmu, aku tidak ragu-ragu lagi. Aku yakin kalau kalian akan dapat menangkap harimau itu. Sehingga dengan demikian kalian akan dapat menjadi anggota pengawal Kademangan.”

Suwela menarik nafas dalam-dalam, “Agaknya kau masih tidak mempercayai kami. Mudah-mudahan sebelum waktunya kami akan dapat membuktikan, bahwa kami benar-benar mempunyai kemampuan yang cukup untuk menjadi seorang anggota pengawal. Bahkan tidak akan kalah bernilai dari kawan-kawan kami yang telah lebih dahulu memasukinya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Baiklah. Kalau begitu, berangkatlah. Malam ini adalah malam yang pertama. Kalian masih mempunyai kesempatan empat malam setelah malam ini.”

“Ya,” jawab Panjang. “Tetapi kami jangan kau siksa dengan caramu seperti malam ini. Waktu kami terbatas akan habis disini, menunggumu tanpa berbuat apa-apa.”

“Sudah aku katakan, bahwa mula-mula aku ragu-ragu. Tetapi sekarang aku sudah yakin.”

“Baiklah,” berkata Suwela, “Kami akan pergi.”

Sejenak kemudian, Temunggul melepaskan kedua kawannya itu pergi berburu harimau. Namun pada keduanya sama sekali tidak membayang kecemasan dan keragu-raguan sama sekali, sehingga karena itu maka Temunggulpun tidak ragu-ragu pula untuk melepaskan mereka.

Suwela berjalan di depan sambil meraba-raba tangkai sepasang pisau belati panjangnya, sedang Panjang berjalan menjinjing tombaknya di belakang. Agaknya dingin malam telah membuatnya agak terlampau sejuk, sehingga Panjang masih juga berselimut kain panjangnya.

Ketika kedua anak-anak muda itu telah menjadi semakin jauh memasuki gelapnya malam, maka Temunggul pun segera meninggalkan tempat itu pula, kembali ke Kademangan.

Tempat itu kembali menjadi sunyi. Sekali-kali terdengar derik jengkerik di rerumputan.

Kemudian hilang seakan-akan tertelan oleh gelapnya malam.

Bramantipun kemudian bangkit berdiri sambil mengibaskan pakaiannya. Dengan nada datar ia bergumam perlahan-lahan kepada diri sendiri, “Ternyata Temunggul adalah seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Ia melepaskan kedua anak-anak itu setelah ia yakin, bahwa keduanya akan dapat mengatasi tugasnya, betapapun sulitnya.” Bramanti berhenti sejenak, kemudian, “Aku akan melihat, apakah mereka akan berhasil.”

Bramanti kemudian melangkah, meninggalkan tempatnya. Dari jarak yang cukup, di antara batang-batang jagung, Bramanti berusaha mengikuti kedua anak-anak muda yang sekarang berburu harimau itu. Ternyata keduanya memang cukup berani, sehingga mereka tidak saja menunggu di bulak yang luas itu, tetapi menyongsong harimau itu, begitu ia ke luar dari hutan.

Malam yang pertama, ternyata telah mereka lampaui tanpa terjadi sesuatu. Keduanya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Sambil menggaruk-garuk punggungnya Suwela bertanya, “Aku tidak tahu, pada hari-hari apa harimau itu keluar dari persembunyiannya untuk makan di luar hutan.”

“Setiap malam kita harus menungguinya di sini,” sahut Panjang.

“Kalau harimau itu tidak juga keluar?”

Panjang menggelengkan kepalanya, “Entahlah. Mungkin kita harus masuk ke dalam hutan itu. Kitalah yang akan memburunya di kandang sendiri.”

“Ya. Kita harus menangkap seekor harimau. Di manapun juga.”

Pada hari yang kedua, mereka berangkat lebih cepat. Mereka tidak perlu lagi menunggu Temunggul. Ketika mereka menganggap bahwa waktunya sudah tiba, mereka pun segera berangkat.

Seperti hari yang pertama, Bramanti berhasil mengikuti mereka. Iapun datang lebih awal, supaya ia tidak tertinggal, dan terpaksa mencari keduanya di padang yang luas itu.

Juga pada hari yang kedua mereka tidak menemui apa pun juga. Sekali lagi mereka berdua terpaksa mengumpat-umpat. Semalam suntukmereka tidak tidur sambil menahan diri dari gigitan nyamuk hutan. Namun ternyata mereka harus pulang tanpa membawa apapun juga.

Demikianlah di hari ketiga, keduanya pergi lagi bersama-sama. Mereka menjadi semakin lesu. Bukan karena mereka tidak mempunyai kekuatan jasmaniah yang cukup untuk bekerja terus-menerus tanpa tidur sekejappun. Namun oleh kekecewaan masing-masing, maka gairah mereka pun telah menjadi susut.

Dengan segan mereka berjalan menyusur jalan di tengah-tengah bulak langsung ke padang ilalang. Seandainya harimau itu tidak juga ke luar dari hutan, maka mereka berdualah yang akan masuk, dan mencarinya di dalam hutan itu. Mereka tidak peduli, apakah harimau yang dijumpai kemudian adalah harimau yang sering mencuri ternak atau bukan. Mereka tidak mau kehabisan waktu dengan menunggu-nunggu tanpa berbuat sesuatu.

Bramanti yang di hari ketiga itupun berhasil pula mengikuti kedua anak-anak muda itu, telah mencoba untuk tidak kehilangan mereka. Dengan hati-hati ia merunduk-runduk di antara batang ilalang beberapa langkah dari keduanya.

Ditengah-tengah padang itu keduanya berhenti sejenak. Terdengar Panjang berkata, “Marilah kita tunggu sebentar. Mungkin harimau itu akan ke luar hari ini.”

“Pendadaran ini tidak terlampau berat untuk menangkap seekor harimau berdua dengan kau, tetapi kesempatan untuk melakukannya hampir tidak ada. Kalau kita berdiri saja di sini, dan harimau itu lewat beberapa puluh langkah di depan kita, kita sudah tidak melihatnya.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Biarlah kita coba. Tetapi kita tidak duduk memeluku lutut. Kita berjalan mondar-mandir. Kemungkinan untuk menjumpai harimau itu akan menjadi lebih banyak. Mungkin kita yang akan mendekatinya, tetapi mungkin juga harimau itu.”

“Baiklah, marilah kita coba. Tetapi sebelum kita bertemu dengan harimau itu, kita sudah kehabisan nafas.”

Panjang tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan di antara batang-batang ilalang. Sekali-kali ia berhenti, kemudian kakinya terayun kembali selangkah demi selangkah maju. Beberapa langkah di belakangnya, Suwela berjalan dengan segannya menjinjing sebilah dari sepasang pisau panjangnya. Ditimang-timangnya pisau belati itu seolah-olah hendak mengetahui, apakah pisau belati itupun telah siap pula menghadapi setiap kemungkinan.

Beberapa kali mereka berjalan mondar-mandir, sehingga Suwela menjadi jemu, dan berkata, “Aku akan duduk saja di sini.”

Panjang menarik nafas dalam-dalam. “Duduklah,” jawabnya. Namun meskipun ia masih berdiri, tetapi ia sudah tidak berjalan mondar-mandir lagi.

Bramanti yang bersembunyi di balik batang-batang ilalang memperhatikan keduanya dengan hati berdebar-debar. Meksipun keduanya cukup berani, namun mereka sama sekali belum berpengalaman. Mereka hanya mempercayakan diri kepada kemampuan mereka berkelahi, kepada tenaga mereka dan kelincahan mereka. Tetapi mereka belum matang untuk menghadapi bahaya yang sebenarnya.

“Pendadaran untuk menjadi anggota pengawal Kademangan ini cukup berat,” berkata Bramanti di dalam hatinya, sementara ia masih duduk sambil menghalau nyamuk yang mengerumuninya.

Sejenak Suwela dan Panjang membeku di tempatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Panjang masih saja berdiri menggenggam tombak pendeknya, sedang Suwela kemudian duduk di atas sebongkah batu padas.

Malam pun menjadi bertambah malam. Angin yang sejuk mengalir perlahan-lahan mengusap tubuh-tubuh yang sudah mulai basah oleh keringat. Betapa tegangnya mereka menunggu tanpa batas waktu.

Bramanti duduk sambil memeluk lututnya. Lambat laun dadanya pun mulai dirayapi oleh kejenuhan. Malam yang sepi, nyamuk dan kantuk telah mengganggunya. Tetapi ia tidak ingin meninggalkan kedua anak-anak muda itu. Keinginannya untuk melihat apa yang terjadi telah memukaunya untuk tetap tinggal di tempatnya.

Sejenak kemudian Bramanti mengangkat kepalanya. Ia merasakan bahwa malam ini agak terlampau sepi. Ia sama sekali tidak mendengar bunyi binatang-binatang hutan. Tidak terdengar salak anjing liar dan pekik kera di pepohonan. Terlampau sepi, bahkan jengkerik dan belalangpun sama sekali tidak berdesik.

“Terlampau sunyi,” ia bergumam kepada diri sendiri. Namun dalam pada itu, secerah harapan melonjak dihatinya. Harapan bahwa apa yang ditunggu-tunggunya akan segera datang. Keinginannya untuk melihat batapa kedua anak-anak muda itu berusaha menangkap seekor harimau, hidup atau mati, akan segera terjadi.

Bramanti menjadi berdebar-debar ketika hidungnya yang tajam menjentuh bau yang lain dari bau rerumputan. Semakin lama semakin nyata.

“Agaknya harimau itu telah datang,” desisnya.

Bramanti menjadi semakin berdebar-debar ketika ia masih melihat kedua anak-anak muda itu seolah-olah tidak beranjak dari tempatnya. Panjang masih berdiri sambil mengedarkan pandangan berkeliling, sedang Suwela duduk dengan segannya, memandang kekejauhan.

“Hem,” desah Bramanti di dalam hatinya. “Agaknya mereka tidak mengenal buruan yang akan mereka tangkap.”

Ketika bau itu menjadi semakin tajam, maka Bramanti menjadi gelisah. Apakah kedua anak-anak muda itu menunggu harimau itu menerkamnya.

Tetapi ia menarik nafas ketika melihat Panjang terperanjat. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Suwela sambil berdesis, “Aku melihat batang ilalang bergerak-gerak.”

“Dimana,” bertanya Suwela sambil meloncat berdiri.

Panjang menunjuk ke arah ujung ilalang yang bergerak-gerak.

“Ya, pasti itulah. Marilah, kita jangan membuang banyak waktu. Kita bunuh saja harimau itu, supaya kita dapat membawanya dengan mudah.”

“Memang lebih mudah menangkap mati daripada menangkap hidup,” sahut Panjang.

“Kita memencar,” berkata Suwela kemudian.

Panjang menganggukkan kepalanya. Tombaknya pun kemudian merunduk seperti ia sendiri membungkukkan ilalang yang bergerak-gerak. Katika gerak ujung ilalang itu berhenti, maka Panjang pun berhenti pula.

Meskipun ia telah membulatkan tekadnya untuk menangkap harimau itu, namun ketika tiba-tiba dari sela-sela dedaunan, matanya membentur benda yang bercahaya kebiru-biruan, hatinya berdesir. Darahnya serasa berhenti mengalir. Sorot mata harimau itu telah membuatnya gemetar.

Namun sejenak kemudian ia menyadari, bahwa ia tidak boleh membantu. Harimau itu akan dapat menerkamnya dan merobek-robek dagingnya. Karena itu maka ia harus menghadapi setiap kemungkinan.

Ketika Panjang itu menggeser pandangan matanya, maka dilihatnya Suwelapun telah menggenggam sepasang pisau belati panjangnya. Sambil berjingkat ia maju setapak demi setapak. Namun Panjang menjadi heran. Suwela memandang ke arah lain. Ia tidak mengawasi harimau yang berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang mengerikan. Tetapi Suwela memandang beberapa langkah di belakang harimau itu.

“Apakah Suwela masih belum melihat harimau itu?” bertanya Panjang di dalam hatinya. Dan pertanyaan itu menjadi semakin tajam tergores didinding hatinya ketika ia melihat justru Suwela melangkah surut.

“Pajang,” ia berdesis. “Kau lihat harimau itu?”

Panjang mengangguk. Tetapi kini ia tidak berani lagi berpaling ke arah Suwela yang berdiri beberapa langkah daripadanya, “Aku telah melihatnya.”

“Tetapi kenapa kau masih saja berdiri di situ.”

“Ia memandang kemari,” sahut Panjang dengan suara bergetar, sedang tombaknya telah siap untuk mematuk harimau yang masih saja memandanginya dengan heran.

“Harimau itu ada disini,” berkata Suwela tergagap.

“Kau keliru. Aku sudah melihatnya. Harimau itu ada disini.”

“He,” Suwela terperanjat. Sejenak ia berpaling, hanya sekejap, kemudian matanya kembali melekat ketubuh harimau yang belang itu. “Apakah bukan kau yang keliru. Ia menghadap kemari.”

“Tidak. Ia menghadap kemari.”

“Kalau begitu,” suara Suwela terputus. Yang terdengar adalah suara harimau itu menggeram. Ketika kemudian terdengar suara harimau yang lain pula, maka barulah mereka sadar, bahwa yang dihadapinya bukan hanya seekor harimau. Tetapi sepasang harimau jantan dan betina.

Jantung kedua anak-anak muda itu serba berhenti berdenyut. Adalah diluar perhitungan mereka, bahwa mereka malam itu akan bertemu dengan sepasang harimau di padang ilalang. Betapa besar hati mereka, dan betapa besar hasrat mereka untuk menjadi anggota pengawal, namun ketika mereka berdua harus berhadapan dengan sepasang harimau, ternyata telah membuat hati mereka kecut.

Tetapi semuanya telah terlanjur. Harimau itu telah berada di hadapan mereka. Dengan demikian, mereka sudah tidak mempunyai pilihan lain daripada berkelahi. Mereka seorang-seorang harus melawan harimau itu masing-masing seekor.

Ternyata bukan hanya kedua anak-anak muda itulah yang menjadi cemas dan berdebar-debar. Dibalik batang-batang ilalang, Bramantipun menjadi cemas pula. Telinganya telah menangkap suara harimau itu menggeram. Dan iapun segera tahu, bahwa harimau itu tidak hanya seekor, tetapi sepasang.

Sementara itu, Panjang dan Suwela sudah tidak dapat menghindar lagi. Seperti berjanji sepasang harimau itu masing-masing memilih lawannya. Dengan mata yang bersinar-sinar dan geram yang menyeramkan kedua ekor harimau itu perlahan-lahan maju mendekati lawan yang mereka pilih.

Kedua anak-anak muda itu surut beberapa langkah. Mereka segera menyiapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Mereka kemudian melihat dua ekor harimau itu merunduk. Mengibaskan ekornya. Dan sambil meraung panjang, hampir bersamaan waktunya keduanya meloncat menerkam lawan masing-masing. Panjang yang bersenjata tombak, mencoba meloncat menghindari. Kemudian dengan lincahnya ia memutar tubuhnya. Dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan tombaknya mematuk punggung harimau yang tidak berhasil menjangkau lawannya.

Tetapi ternyata jarak Panjang terlampau jauh dari harimau itu, sehingga ujung tombaknya hanya sekadar menyentuh kulit harimau itu tanpa melukainya. Bahkan harimau itu kemudian meloncat menyerangnya dengan kuku-kukunya yang tajam.

Sejauh dapat dilakukan Panjang melawan dengan tombaknya. Sekali ia berhasil mengenai dada harimau itu. Namun kulit harimau itu ternyata begitu liatnya, sehingga tombaknya hanya berhasil merobek kulit harimau itu. Namun justru karena lukanya itulah harimau itu menjadi semakin tegang. Sekali lagi harimau itu meraung keras-keras. Kemudian dengan garangnya menyerang kembali. Giginya yang runcing tajam menyeringai mengerikan.

Panjang pun kemudian melawan sekuat-kuat tenaganya. Meskipun ia ngeri juga, namun ia sadar, bahwa ia harus melawan. Kalau tidak, maka ia akan menjadi makanan harimau itu seperti anak-anak kambing yang hilang dari kandangnya. Dan Panjang sama sekali bukan seekor kambing yang lemah dan menyerah tanpa melakukan perlawanan.

Dalam pergulatan yang terjadi kemudian, sekali-kali kuku harimau itu pun menyentuh tubuhnya. Jalur-jalur yang merah membekas di kulitnya, sedang pakaiannya telah hancur direnggut oleh kuku-kuku harimau yang ganas itu.

Di lain pihak, Suwela pun ternyata mengalami kesulitan. Apalagi ia bersenjata sepasang pisau belati panjang. Ia tidak dapat mengambil jarak yang cukup, meskipun senjatanya lebih lincah dari sebatang tombak. Namun meskipun ia telah berjuang sekuat tenaganya, ia sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari kulit kuku-kuku harimau yang setajam ujung belatinya.

Sejenak kemudian, maka kedua anak-anak muda itu telah mandi dengan keringat dan darahnya sendiri. Semakin lama keduanya semakin tidak akan dapat melawan kegarangan dua ekor harimau belang yang sedang lapar itu.

Meskipun demikian, namun Suwela dan Panjang sama sekali tidak berputus asa. Apa yang dapat mereka lakukan untuk menyelamatkan diri, telah mereka lakukan. Bahkan senjata-senjata mereka seolah-olah telah melekat pada tangan-tangan mereka, sehingga bagaimanapun juga, senjata-senjata itu sama sekali tidak akan dapat terlepas.

Tetapi harimau itu adalah harimau yang besar. Bagaimanapun juga tangkas, lincah dan kuatnya tangan kedua anak-anak muda itu, namun untuk melawan harimau-harimau itu adalah pekerjaan yang terlampau berat.

Ternyata kemudian, ketika darah mereka telah semakin banyak mengalir, maka perlawanan mereka pun menjadi semakin surut. Kuku-kuku harimau itu semakin sering menyentuh kulit mereka. Apalagi setelah harimau-harimau itu mencium bau darah. Maka suaranya pun menjadi semakin keras, menggeram dengan marahnya.

Dalam keadaan yang semakin sulit, ketika mereka mencoba melawan dengan kekuatan mereka yang terakhir, sekali lagi kedua anak-anak muda itu terkejut.

Sebuah bayangan hitam meluncur dengan cepatnya menerkam salah seekor harimau belang itu, kebetulan yang sedang berkelahi melawan Panjang, sehingga anak muda yang bersenjata tombak itu untuk sejenak berdiri termanggu-manggu. Tetapi segera ia menyadari keadaannya ketika ia mendengar bayangan itu berteriak, “He, jangan termenung. Bantulah Suwela mengalahkan lawannya. Serahkan yang seekor ini kepadaku.”

Panjang tidak sempat berpikir lagi. Segera ia meloncat mendekati Suwela yang sedang terdorong jatuh oleh sentuhan kaki harimau itu. Tepat pada waktunya Panjang datang membantunya. Ujung tombaknya mematuk dengan derasnya ke lambung harimau itu, sehingga harimau itu terkejut dan mengurungkan niatnya untuk menerkam Suwela yang jatuh terlentang.

Kesempatan itu ternyata dapat dipergunakan sebaik-baiknya oleh Suwela. Segera ia meloncat bangun. Ternyata sepasang pisau belatinya masih melekat di tangannya. Sekilas ia melihat harimau yang seekor, yang sesaat sebelumnya berkelahi melawan Panjang, kini sedang sibuk melayani lawannya yang baru, yang tidak segera dapat mereka ketahui.

Namun Suwela dapat melihat dengan jelas, bahwa bayangan itu seolah-olah melekat dipunggung harimau belang itu, sambil mengayun-ayunkan pisau belatinya. Bertubi-tubi tanpa henti-hentinya menghujam ke punggung dan lambung harimau itu.

Kesempatan itu tidak mereka lewatkan. Mereka masih belum yakin. Apakah orang yang baru datang menolong mereka itu mampu melawan harimau yang kini sedang dicengkamnya. Apalagi pada suatu ketika tangannya yang sebelah itu terlepas, maka ia pasti akan terpelanting, karena harimau itu dengan sekuat-kuat tenaganya menggeliat dan melonjak-lonjak.

Sejenak kemudian maka Suwela dan Panjang yang telah mandi darah itu, menggeretakkan gigi mereka. Serentak mereka menyerbu dan menghujamkan senjata masing-masing. Beruntun seperti orang yang sedang kerasukan.

Kemarahan yang bergelora di dalam dada kedua anak-anak muda itu agaknya telah menambah ketahanan tubuh mereka. Bahkan kehadiran seseorang yang tidak mereka kenal itu telah menambah nafsu mereka pula, sehingga tenaga mereka yang telah susut itu, serasa menjadi pulih kembali.

Dengan sekuat-kuat tenaga mereka berusaha untuk mengalahkan harimau yang seekor itu dengan secepat-cepatnya. Berdua mereka lambat laun berhasil menguasainya, sehingga pada suatu saat senjata Panjang berhasil menembus di celah-celah rusuk harimau itu.

Dengan sekuat tenaga harimau itu menghentakkan tubuhnya. Demikian kuatnya sehingga tangkai tombak itu terlepas dari tangan Panjang. Tetapi tombak itu masih menghujam di lambung harimau itu. Dan sebelum harimau itu berhasil mengibaskan tombak itu, maka sepasang pisau belati Suwela telah menyobek kulitnya pula. Bertubi-tubi sehingga harimau itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan lagi.

Sejenak terdengar harimau itu mengaung dahsyat sekali. Namun sejenak kemudian suaranya lenyap seakan-akan ditelan oleh sepinya malam.

Kedua anak muda itu berdiri dengan nafas terengah-engah. Setelah mereka yakin bahwa lawannya telah mati, maka justru tubuh mereka menjadi terlampau lemah. Mereka hampir tidak kuat berdiri menahan tubuh masing-masing.

Tetapi tiba-tiba Suwela tersentak sambil mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Ia sama sekali tidak melihat lagi harimau yang seekor, sehingga tiba-tiba ia menjadi cemas. Terbata-bata ia berkata di sela-sela engah nafasnya, “He, dimana orang yang datang menolong kita tadi?”

Panjang tidak menyahut. Ia menjadi cemas, bahwa justru orang yang menolongnya itu telah dibinasakan dan digonggong oleh harimau yang seekor lagi. Karena itu, betapapun lemahnya mereka menyeret kaki-kaki mereka, pergi ke bekas tempat yang tidak mereka kenal ia berkelahi.

Keduanya tertegun ketika mereka melihat tubuh harimau yang telah menjadi bangkai terbaring di antara batang-batang ilalang yang telah menjadi porak poranda. Tetapi mereka tidak menjumpai seorangpun lagi. Seperti pada saat datang, bayangan itupun pergi tanpa diketahui arahnya.

“Aneh,” desis Panjang. “Siapakah yang telah menolong kita itu?”

Suwela menarik nafas dalam-dalam. Dengan sisa-sisa kainnya ia menyeka darah dan keringat di seluruh badannya. Sakit dan pedih terasa menyengat di seluruh permukaan kulitnya.

“Aneh,” ia berdesis.

“Siapakah kira-kira orang itu,” bertanya Panjang. “Apakah kau mempunyai dugaan tentang orang yang aneh itu?”

“Temunggul,” desis Suwela, namun ia sendiri meragukan jawabannya.

“Memang mungkin. Tetapi apabila orang itu Temunggul, maka ia pasti tidak akan menghilang sebelum kami menyapanya.”

Suwela mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mendapat suatu teka-teki yang tidak mudah ditebaknya, “Sulit untuk menebak,” ia berdesis. “Tidak ada ciri apapun yang dapat kita kenal.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ketika angin yang silir mengusap tubuhnya, mulailah terasa seolah-olah tulang-tulangnya telah terlepas sama sekali. Tubuhnya menjadi terlampau lemah sehingga terdengar suaranya lamat-lamat. “Aku tidak kuat lagi untuk berdiri,”.

Suwela mengangguk-anggukkan kepalanya. Tubuhnya sendiri menjadi demikian lemahnya, sehingga seakan-akan tidak mampu lagi menguasai anggota badannya.

Tetapi ketika Panjang merobohkan dirinya duduk di atas rerumputan, terdengar Suwela berkata agak keras, “Obor. Aku melihat beberapa buah obor datang kemari.”

Dengan serta merta Panjangpun berdiri. Seakan-akan ia mendapat kekuatan baru untuk tegak di atas kedua kakinya.

“Ya obor. Siapakah mereka?”

Suwela menggeleng. “Aku tidak tahu.”

Betapapun lemahnya namun kedua anak-anak muda itu berusaha untuk tetap berdiri. Mereka ingin mendapat bantuan untuk kembali ke Kademangan. Mungkin seorang dapat membantunya berjalan, atau mungkin memapahnya. Mereka juga ingin membawa bukti bangkai-bangkai macam itu kembali ke Kademangan. Tetapi mereka sama sekali sudah kehabisan kekuatan. Karena itu, kehadiran orang-orang dari Kademangan akan dapat membantu mereka.

Sejenak kemudian obor-obor itupun menjadi semakin dekat. Suwela yang tidak sabar lagi tiba-tiba berteriak, “He. Siapa kau?”

Tidak terdengar jawaban. Tetapi obor-obor itu merambat lagi mendekati mereka berdua.

Ternyata mereka adalah para peronda. Ketika mereka mendengar aum harimau yang dahsyat, meskipun masih agak jauh dari pedesaan, maka mereka pun menjadi gelisah. Mereka tahu, bahwa Suwela dan Panjang sedang menjalankan masa pendadaran dengan menangkap harimau. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa mereka bersama-sama tujuh orang dengan senjata masing-masing berusaha mencari arah suara aum harimau itu. Seandainya harimau itu telah bertemu dengan Suwela dan Panjang, bagaimanakah akhir dari pertemuan itu.

“He,” teriak Suwela. “Kami disini.”

Obor-obor itupun kemudian semakin dekat. Seorang yang berdiri di paling depan segera bertanya ketika mereka telah dekat. “Bagaimana dengan kau berdua?”

“Kemarilah, lihatlah tubuhku yang luka arang kranjang, meskipun tidak begitu dalam.”

“Bagaimana dengan harimau itu.”

“Kemarilah,” sahut Suwela.

Obor-obor itupun menjadi semakin dekat. Ketika orang yang terdepan telah berada di hadapan Suwela, dengan serta-merta ia bergumam. “Bukan main. Bukan main. Lukamu benar-benar arang kranjang Suwela.”

Suwela tidak menjawab. Tetapi nafasnya menjadi semakin terengah-engah. Dari luka-lukanya itu masih mengalir darah dan lubang-lubang kulitnya mengembun keringat.

Para peronda itupun kemudian mengerumuni Suwela dan Panjang yang hampir kehabisan tenaga. Dibawah sinar obor mereka melihat, luka-luka berjalur-jalur membujur lintang di tubuh kedua anak-anak muda itu.

“Pendadaran itu terlampau berat. Masih lebih baik menundukkan kuda liar itu daripada harus berkelahi melawan harimau. Kuda liar itu tidak akan dengan sengaja membunuh. Tetapi harimau ini.”

Para peronda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka tiba-tiba saja bertanya, “Lalu bagaimana dengan harimau-harimau itu sekarang?”

Suwela tidak menjawab. Tetapi dengan jarinya ditunjuknya ke arah dua ekor harimau-harimau yang sudah mati itu.

Ketika para peronda itu melihat, mereka terlonjak. Hampir berbareng mereka berdesis. “Dua. Dua ekor harimau.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Kami berdualah yang hampir mati.”

“Luar biasa. Kalian selamat, dan bahkan kalian mampu membunuh keduanya.”

Panjang menggelengkan kepalanya yang lemah. Dengan suara yang seakan-akan menyangkut kerongkongannya ia berkata. “Bukan kami.”

“He?” para peronda itu terbelalak. Tanpa sesadar mereka memandangi Suwela yang lesu. Dan Suwela pun membenarkannya. “Bukan kami.”

“Lalu siapa?”

“Nantilah aku akan bercerita kalau aku tidak mati kehabisan darah.”

“O,” para peronda itu baru sadar, bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang luka arang kranjang. Karena itu, maka orang yang tertua di antara mereka segera berkata, “Marilah kita cepat-cepat pulang. Papahlah keduanya. Keduanya agaknya sudah terlampau lemah.”

Maka dengan dibantu oleh dua orang masing-masing Suwela dan Panjang berjalan pulang ke Kademangan. Kedua tangannya melingkar di bahu dua orang sebelah menyebelah, agar mereka tidak terjatuh di perjalanan. Sedang orang-orang yang lain berusaha menarik bangkai harimau itu untuk di bawa ke Kademangan pula, meskipun agak terlampau berat.

Suwela dan Panjang hampir tidak sadar lagi ketika mereka berpapasan dengan beberapa orang lain, yang dengan cemas mencarinya pula. Mulut-mulut mereka menjadi serasa terlampau berat sehingga mereka sama sekali tidak menjawab sepatah katapun atas segala macam pertanyaan.

“Luka agak berat,” salah seorang dari mereka yang memapahnya yang menjawab. “Nanti saja, kalau ia sudah beristirahat. Sekarang kalian lebih baik membantu menyeret bangkai-bangkai harimau itu?”

“He, ada berapakah harimau itu? Apakah lebih dari satu?”

“Ada dua.”

“Dua,” dada mereka pun terguncang, “Dua orang harus berkelahi melawan dua ekor harimau belang?”

Tidak ada jawaban. Mereka yang memapah Suwela dan Panjang berjalan semakin cepat. Mereka berusaha secepat-cepatnya sampai di Kademangan, agar keduanya dapat segera diobatinya luka-lukanya. Namun sebelum mereka memasuki regol Kademangannya, kedua anak-anak muda itu telah menjadi pingsan.

Di Kademangan, beberapa orang yang dianggap mengerti tentang ilmu obat-obatan duduk dengan wajah yang tegang mengerumuni Suwela dan Panjang.

Temunggul duduk dengan gelisah. Kecemasan membayang di wajahnya. Setiap kali ia berdesah dan menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hatinya.

“Bagaimana?” ia berbisik kepada salah seorang dari orang-orang yang sedang berusaha mengobati Suwela dan Panjang itu.

“Mudah-mudahan. Mudah-mudahan mereka segera sadar.”

Temunggul menggigit bibirnya. Di pandanginya kedua tubuh yang berbaring diam itu. Terasa tubuhnya sendiri seakan-akan menjadi pedih oleh jalur-jalur bekas kuku harimau yang mengerikan itu.

“Aku tidak menyangka, bahwa ada sepasang harimau jantan dan betina,” ia berkata kepada dirinya sendiri. “Kalau terjadi sesuatu atas keduanya, maka akulah yang harus bertanggungjawab.

Hatinya melonjak ketika tiba-tiba ia melihat Panjang mulai bergerak-gerak. Perlahan-lahan anak muda itu membuka matanya. Nafasnya mulai berjalan agak teratur.

Temunggul mendesak maju dan duduk disisi Panjang. Tetapi ia masih belum bertanya sesuatu. Agaknya Panjang masih terlampau lemah.

“Ia akan segera baik,” berkata salah seorang dari mereka yang ikut berusaha mengobatinya.

“Terima kasih,” desis Temunggul.

Ki Demang dan Ki Jagabaya serta beberapa orang pemimpin Kademangan itu, yang duduk beberapa langkah dari kedua tubuh yang terbaring itupun menarik nafas, ketika mereka melihat Panjang membuka matanya, dan sesaat kemudian Suwela pun menjadi sadar pula.

Mereka menjadi bertambah segar ketika pada bibir mereka diteteskan beberapa titik air. Sehingga wajah mereka yang sudah menjadi seputih kapas itupun agak dijalari oleh warna darahnya yang mulai mengalir dengan teratur.

Temunggul mengangkat kepalanya ketika ia mendengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Ketika ia memandang ke halaman, maka dilihatnya warna yang kemerah-merahan telah membayang pada dedaunan dan pepohonan.

“Hampir pagi,” desisnya. “Kedua anak-anak itu telah berjuang melampaui kekuatan mereka yang wajar. Untunglah mereka selamat. Bahkan mereka berhasil membunuh kedua ekor harimau itu.”

Temunggul mengerutkan keningnya ketika ia mendengar seseorang yang duduk dibelakangnya berdesis. “Bukan mereka yang telah membunuh harimau itu.”

“He,” ia bertanya. “Lalu siapa? Dan darimana kau tahu?”

“Suwela dan Panjang sendirilah yang mengatakan ketika kami datang menengoknya. Sebelum mereka menjadi pingsan.”

“Ya, tetapi siapa yang membunuh harimau itu? Apakah ada orang lain di antara mereka ketika kau datang?”

Orang itu menggeleng. “Tidak. Tidak ada orang lain.”

Temunggul menjadi semakin tidak mengerti. Tetapi orang itu berkata, “Nanti, bertanyalah kepadanya sendiri. Aku pun tidak sempat bertanya lagi, karena keduanya menjadi terlampau lemah.”

Temunggul menganggukkan kepalanya. “Baiklah, nanti aku akan bertanya kepada mereka.”

Temunggul kemudian meninggalkan pringgitan, langsung melintasi pendapa dan turun ke halaman. Udara yang sejuk telah membuatnya agak tenang. Namun apa yang dibayangkannya perkelahian antara kedua anak-anak muda itu ngeri sekali.

“Tetapi,” ia bergumam. “Siapakah orang yang disebut-sebut telah membunuh harimau itu?”

Tanpa sesadarnya Temunggul itupun kemudian berjalan menyelusuri jalan di muka Kademangan itu tanpa arah. Sekali-kali ditengadahkannya wajahnya, memandangi jalur-jalur awan yang kemerah-merahan di langit yang biru.

Ketika Temunggul itu menuruni tebing bendungan, langkahnya tiba-tiba terhenti. Ia melihat sesosok bayangan berjalan perlahan-lahan menaiki tebing. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas. Orang itu adalah Bramanti.

“Darimana kau Bramanti?”

Bramanti tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Temunggul yang masih membekas ketegangan yang mencekam jantungnya.

“He, darimana kau?” bentaknya ketika Bramanti tidak segera menyahut.

“Oh, aku baru saja dari bendungan.”

“Sepagi ini?”

“Ya, perutku sakit. Tetapi bukankah matahari telah naik?”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya Bramanti dengan sorot mata yang aneh. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa kau mandi terlampau pagi?”

“Aku biasa mandi sepagi ini. Kalau tidak ke sungai, akupun mandi di rumah.”

Sorot mata Temunggul menjadi semakin aneh. Dan dengan suara gemetar ia bertanya, “Kenapa dadamu itu Bramanti. Dan lenganmu? Meskipun kau berusaha membersihkannya, tetapi aku masih dapat melihat bekas-bekas darah itu.”

Bramanti mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil menjawab, “Oh, aku tergelincir dari pohon kelapa pagi tadi.”

“Kau memanjat pohon kelapa pagi-pagi buta?”

Kini Bramantilah yang memandangi Temunggul dengan sorot mata yang aneh. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Kenapa kau heran Temunggul? Bukankah sudah menjadi kebiasaan setiap orang yang menderas kelapanya, mengambil bambu di pagi-pagi buta.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam. “Kau nderes juga?”

“Ya, sekadar meringankan beban ibu. Kelapa kami terlampau cukup, sehingga aku menyisihkan tiga batang untuk aku ambil gulanya.”

Temunggul tidak menjawab lagi. Dipandanginya jalur-jalur merah di dada dan lengan Bramanti. Namun kemudian ia berkata, “Seharusnya kau malu kepada dirimu sendiri sebagai seorang laki-laki.”

“Kenapa?” bertanya Bramanti.

“Hari ini Suwela dan Panjang terbaring di pringgitan Kademangan dengan jalur-jalur merah di dada, punggung dan lengannya seperti jalur merah ditubuhmu itu. Tetapi jauh lebih banyak dan dalam.”

“Pertanyaanmu itu menyatakan kebohonganmu. Bukankah menjadi kepuasan, bahwa keduanya harus menangkap seekor harimau? Nah, harimau itulah yang telah membuat jalur-jalur merah ditubuh mereka. Nanti apabila jalur-jalur itu telah sembuh dan membekas di kulitnya, mereka akan berkata dengan bangga, bahwa jalur-jalur itu adalah bekas luka yang ditimbulkan oleh kuku-kuku harimau. Sedang kaupun agaknya akan berbangga mengatakan, bahwa jalur-jalur di dadamu itu adalah bekas geseran batang kelapa.”

Bramanti tidak menjawab, tetapi ia menundukkan kepalanya sambil menggigit bibirnya.

“Kalau kau tidak pingsan melihat darah, tengoklah mereka di Kademangan.”

Bramanti menarik nafas, jawabnya, “Sebenarnya aku ingin menengoknya. Tetapi ia masih takut, kalau-kalau kehadiranku akan menimbulkan persoalan lagi seperti pada saat pendadaran itu.”

“Huh,” Temunggul mencibirkan bibirnya. “Kau memang tidak pantas untuk menjadi anggota keluarga kami, laki-laki Kademangan ini.”

Sebelum Bramanti menjawab, Temunggul telah meneruskan langkahnya turun ke bendungan.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Tanpa sesadarnya dirabanya jalur-jalur merah di dadanya. Perlahan-lahan ia berdesis. “Ibu pun pasti akan bertanya, kenapa jalur-jalur ini telah tergores di dadaku. Dan ibu pasti akan berkata, “Lain kali jangan memanjat terlampau pagi.”

Sekali lagi Bramanti berpaling memandangi Temunggul yang telah turun ke air. Kemudian diayunkannya kakinya berjalan pulang ke rumahnya.

Ternyata dugaan tidak salah. Ibunya menjadi cemas melihat jalur-jalur di dadanya itu.

“Tidak apa-apa,” berkata Bramanti. “Dengan getah mlandingan di campur dengan kunyahan daunnya, segera luka-luka kecil ini akan sembuh.”

Dan nasehat yang dinanti-nantikannya itu di ucapkan oleh ibunya pula. “Lain kali jangan memanjat terlampau pagi. Tunggulah sampai embun mulai menguap.”

Dan Bramanti pun telah menyediakan jawabannya pula. “Baik bu.”

“Nah,” berkata ibunya. “Minumlah selagi masih panas.”

Bramanti pun kemudian berjalan dengan kepala tunduk, masuk ke dapur. Perlahan-lahan ia duduk di sebuah bale-bale bambu. Sejenak di pandanginya semangkuk air panas, dan seonggok gula kelapa. Kemudian tangannya pun terjulur meraih mangkuk itu. Ketika ia mengangkatnya, tangan itu tertegun. Dipandanginya air hangat itu sejenak. Keningnya berkerut ketika tiba-tiba saja kenangannya meloncat kepada seorang gadis yang ditemuinya pertama-tama ketika ia datang kembali ke padukuhannya.

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Wajah gadis itu seakan-akan membayang di dalam mangkuknya.

Tiba-tiba Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Diteguknya air hangat itu sambil berdesis di dalam hatinya, “Temunggul telah mendorong aku untuk selalu mengenang wajah itu. Sebenarnya aku tidak menaruh perhatian sama sekali.”

Bramanti menggigit bibirnya. Dicobanya untuk mengusir bayangan yang telah mulai mengganggunya itu.

“Aku sudah mulai mencari perkara,” ia berkata di dalam hatinya. “Aku telah banyak sekali berkorban. Aku telah merendahkan diriku dengan menahan hati sekuat-kuat tenagaku. Penghinaan di arena pendadaran itu adalah pengorbanan yang tiada taranya dari seorang laki-laki. “Kalau kemudian aku terlibat dalam persoalan seorang gadis dan langsung berhadapan dengan Temunggul, maka pengorbanan itu akan sia-sia.”

Karena itu, maka Bramanti pun berusaha untuk tetap dapat mempergunakan nalarnya tanpa membiarkan perasaannya mengembara menyusuri langit.

Tanpa sesadarnya Bramanti meraba jalur-jalur merah di dadanya. Ia merasa sesuatu bergetar didadanya ketika terasa jalur-jalur itu menjadi pedih.

Jalur-jalur di tengkuk dan punggungnya masih belum sembuh, dan kini ditambah lagi jalur-jalur baru di dadanya meskipun jalur-jalur di dada itu tidak ditimbulkan oleh pukulan cambuk pada tengkuk dan punggungnya.

“Hem,” Bramanti berdesah. “Aku tidak dapat membiarkan mereka di sayat-sayat oleh harimau itu. Mereka baru sekadar menjalani pendadaran.”

Namun kemudian ia menggeram, “Persetan dengan anak-anak Candi Sari yang gila dan sombong. Mereka merasa diri mereka terlampau kuat dan tangguh. Suatu sikap yang berbahaya. Tetapi mereka sama sekali tidak berani berbuat apa-apa menghadapi orang yang menyebut dirinya Panembahan Sekar Jagat.”

Sementara itu anak-anak muda Kademangan Candi Sari berdatangan seorang demi seorang ke halaman rumah Ki Demang setelah mereka mendengar berita tentang kedua kawan mereka Suwela dan Panjang. Sebagian dari mereka menjadi cemas, dan bahkan ada yang merasa, bahwa cara yang dipergunakan oleh Temunggul itu terlampau berbahaya. Apalagi di hari-hari mendatang, cara itu tidak di rubah, maka korban-korban yang tidak berarti masih akan berjatuhan.

Setelah beberapa orang mengalami cedera dalam pendadaran, dan bahkan ada yang menjadi cacat untuk seumur hidupnya karena terjatuh dari punggung kuda yang binal, maka kini Suwela dan Panjang hampir saja mati terbunuh.

Tetapi mereka hanya berani menyatakannya di dalam hati masing-masing. Ada satu dua orang yang memperkatakan soal itu tetapi tidak seorang pun yang berani mengatakannya langsung kepada Temunggul.

“Temunggul sendiri merasa menyesal,” berkata salah seorang dari anak-anak muda itu.

Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan sudut matanya di pandangnya beberapa anak muda yang telah diterima menjadi anggota pengawal.

“Mereka lebih senang, apabila pendadaran dilakukan dengan cara yang lebih berat.”

“Tentu. Semakin banyak yang jatuh, mereka menjadi semakin bangga akan kedudukannya.”

Keduanya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi mereka menjadi terdiam ketika seorang anggota pengawal lewat di depan mereka. Keduanya hanya dapat memandangi ciri dari anggota pengawal itu. Sedang pengawal itu sendiri mengusap-usap dagu mereka. Seleret baris merah pada ujung lengan baju mereka.

Ketika pendapa Kademangan itu menjadi penuh, maka beberapa orang terpenting di antara mereka diperkenankan masuk. Tujuh orang di antara mereka segera memasuki pringgitan dan duduk di atas sehelai tikar, dekat disamping Suwela dan Panjang berbaring.

“Di mana Temunggul? bertanya salah seorang dari mereka.

“Baru saja pergi,” jawab yang lain.

“Baru saja?”

“Beberapa saat yang lalu. Ia menunggui keduanya yang luka-luka itu. Baru ketika mereka sudah sadar Temunggul keluar ruangan ini. Entah, ia pergi kemana.”

Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi mereka sudah tidak terlampau cemas lagi, karena Suwela dan Panjang telah menjadi bertambah segar setelah mereka menelan masing-masing sebutir telur mentah.

“Bagaimana keadannmu?” bertanya salah seorang dari mereka yang duduk di samping Suwela dan Panjang.

Suwela menarik nafas dalam-dalam. Katanya perlahan, “Sudah baik. Aku sudah menjadi bertambah baik.”

“Syukur. Tetapi bagaimanakah yang terjadi sebenarnya?”

“Jangan terlampau banyak berbicara lebih dahulu,” potong Ki Demang yang masih saja duduk di samping Ki Jagabaya dan beberapa bahu Kademangan yang lain.

“Oh,” anak muda yang bertanya itupun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Suwela dan Panjang yang masih sangat pucat, meskipun sudah agak tampak segar. Tetapi ia tidak bertanya-tanya lagi.

Pringgitan itupun kemudian menjadi sepi. Hanya desah nafas sajalah yang terdengar bersahut-sahutan. Sekali-kali satu dua orang dari mereka yang berusaha mengobati kedua anak-anak muda yang terluka itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dari wajah mereka dapat dibayangkan, bahwa mereka berpengharapan sepenuhnya, untuk dapat mengatasi kesulitan dari kedua anak-anak muda ini.

Serentak mereka berpaling ketika pintu pringgitan itu terbuka. Mereka melihat Temunggul melangkah masuk dengan wajah yang suram. Ia tertegun sejenak di muka pintu, namun kemudian ia melangkah terus dan duduk pula di samping Suwela.

“Kau sudah menjadi semakin baik,” desisnya.

Suwela mengangguk kecil.

Kemudian kepada Ki Demang Temunggul berkata, “Ki Demang, apakah Suwela sudah mengatakan tentang dirinya?”

Ki Demang menggelengkan kepalanya, “Belum. Aku melarang ia berbicara terlampau banyak.”

“Tidak terlampau banyak. Aku hanya ingin mendengar tentang harimau itu.”

“Bertanyalah.”

“Apakah kau sudah dapat berceritera tentang harimau itu,” bertanya Temunggul.

Suwela menarik nafas dalam-dalam, kemudian dengan kata-kata yang patah-patah ia menceriterakan apa yang telah terjadi atas mereka berdua.

Setiap kepala mereka yang berbeda di dalam pringgitan itu terangguk. Dan kemudian terdengar Temunggul bertanya, “Apakah kau tidak dapat menduga, siapakah yang telah menolongmu.”

“Semula aku menyangka, bahwa kaulah yang telah melakukannya.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia terpaksa mengakui bahwa ia sama sekali tidak melakukannya. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Bukan aku.”

“Kalau bukan kau, maka kami tidak dapat mengatakan, siapakah orang itu.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun peristiwa itu merupakan peristiwa yang besar bagi dirinya dan bagi Kademangan Candi Sari. Ia sendiri dan bahkan mungkin di seluruh Kademangan ini, tidak ada yang dapat membunuh seekor harimau belang yang sebesar itu seorang diri hanya dengan pisau belati seperti yang dilihat oleh Panjang dan Suwela.

“Siapakah orang itu?” pertanyaan itu selalu mengganggunya. “Apakah mungkin orang yang menamakan diri Panembahan Sekar Jagat? Tetapi apakah kepentingannya ia menolong Suwela dan Panjang. Menilik sikap orang-orangnya, maka Panembahan Sekar Jagat pasti akan membiarkan Suwela dan Panjang mati dicabik-cabik harimau lapar itu. Namun, kemungkinan itu masih ada. Mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri tidak sejahat orang-orangnya.

Temunggul mengerutkan keningnya ketika ia mendengar Panjang yang berbaring disamping Suwela itu berdesis lambat, “Seakan-akan aku pernah mendengar suara orang itu.”

“Siapa?” bertanya Temunggul dengan serta merta.

“Sayang. Aku lupa. Apabila pada suatu ketika aku bertemu dengan seseorang yang suaranya serupa, aku akan dapat menyebutkannya.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tetap tidak dapat menduga. Siapakah orang itu. Siapakah yang telah menolong Suwela dan Panjang dari kuku-kuku harimau yang ganas itu.

Namun, meskipun seseorang telah menolongnya, tetapi keduanya telah dianggap telah memenuhi syarat, karena mereka berdua telah berhasil membunuh salah seekor dari sepasang harimau itu, sehingga dengan demikian Suwela dan Panjang akan dapat diterima menjadi anggota pengawal Kademangan.

“Kalian akan segera di wisuda apabila kalian telah sembuh,” berkata Temunggul untuk membesarkan hati kedua anak-anak muda itu. “Kalian akan segera menjadi anggota pengawal. Kali ini penerimaan atas kalian pasti harus agak berbeda dengan di saat-saat lampau. Karena kalian telah melampaui suatu saat yang paling menegangkan. Sayang, bahwa kami tidak dapat mengerti, siapakah yang telah menolong kalian. Seandainya demikian, maka orang itupun harus di undang pula. Ia akan dapat menjadi anggota kehormatan, karena orang itu pasti berada setidak-tidaknya sejajar dengan para anggota pengawal. Bahkan melampauinya.”

“Pada suatu saat kau akan menemukannya,” desis Panjang. “Suara itu tidak akan aku lupakan pada saat ia meloncati punggung harimau itu.”

“Mudah-mudahan,” jawab Temunggul. “Mudah-mudahan kau dapat menemukannya. Dengan demikian akan terungkatlah suatu kekuatan yang terpendam di Kademangan ini.”

Panjang tidak menjawab lagi. Kepalanya masih terasa pening, sehingga ia tidak sempat mengingat-ingat lebih lanjut. Hanya kadang-kadang saja timbul suatu persoalan di dalam hatinya.

Betapapun ia mencoba mengingkari. Suara itu benar-benar pernah didengarnya. Suara seseorang yang tidak mungkin mampu melakukannya. Tetapi seolah-olah ia yakin bahwa suara itu adalah suaranya.

“Mungkin telingakulah yang sudah tidak wajar lagi, atau dalam kekalutan pikiran waktu itu, aku tidak dapat mendengarnya dengan baik, sehingga timbullah kesalahan dugaan itu,” berkata Panjang di dalam hatinya. Namun kemudian,

“Tetapi seandainya orang itu, kenapa? Apakah keberatanku?”

Tetapi Panjang tidak mengatakan perasaan dan dugaan-dugaan itu kepada siapapun. Ia yakin, bahwa anak-anak itu akan mentertawakannya.

Sejenak kemudian, maka anak-anak muda yang menengok mereka yang terluka itupun meninggalkan ruang pringgitan yang menjadi terlampau panas. Dari mulut ke mulut ceritera itu berkembang.

Dan pertanyaan tentang bayangan kehitam-hitaman yang menerkam harimau dan membunuhnya itupun berkembang pula.

Suwela dan Panjang, yang merasa keadaannya telah menjadi semakin baik, minta kepada Ki Demang untuk pulang saja ke rumah masing-masing. Di rumah mereka akan menjadi lebih tentram dan mudah-mudahan dengan demikian menjadi lebih cepat sembuh.

Ki Demang, para pemimpin Kademangan yang lain dan Temunggul tidak merasa keberatan atas permintaan itu. Karena itu, maka mereka pun segera menyiapkan sebuah pedati untuk membawa keduanya pulang ke rumah masing-masing.

Yang mula-mula di antar pulang adalah Suwela, kemudian baru Panjang. Perlahan-lahan pedati itu berjalan dengan tenangnya di atas tanah berbatu-batu, sehingga gemeretak rodanya telah membangunkan anak-anak yang sedang tidur di pangkuan ibunya, di bawah pepohonan rindang di halaman.

Bramanti yang sedang duduk di bawah sebatang pohon sawopun mengangkat wajahnya. Jarang sekali sebuah pedati lewat di jalan di muka halaman rumahnya. Karena itu, tanpa sesadarnya ia berdiri dan berjalan ke regol untuk melihat apakah yang telah diangkut di dalam pedati itu.

Anak muda itu terkejut ketika ia melihat beberapa anak-anak muda berjalan di sisi pedati itu. Dengan hati yang berdebar-debar ia kemudian masuk kembali ke dalam regol rumahnya, supaya tidak menimbulkan persoalan yang tidak dikehendakinya.

Meskipun demikian ia tetap berdiri di balik pintu kalau-kalau ia dapat mengintip, apakah yang ada di dalam pedati itu.

Tanpa disangka-sangka, tiba-tiba Panjang yang terluka berdesis. “Berhenti. Berhenti sebentar.”

Pedati itupun segera berhenti. Anak-anak muda yang mengikuti pedati itupun segera mendekat dan berkerumun di sekeliling Panjang yang berbaring di dalam pedati.

“Kenapa kau berhenti disini Panjang,” bertanya salah seorang anak muda.

Panjang berdesis. Kemudian katanya, “Tolong, panggil Bramanti.”

“Untuk apa kau panggil anak itu.”

“Tolonglah, panggil Bramanti.”

Bramanti yang berdiri di balik pintu, mendengar pula percakapan itu, sehingga dadanya pun menjadi berdebar-debar.

“Apakah kau memerlukannya?” bertanya anak muda yang lain.

“Ya, aku memerlukannya.”

“Kau ingin mencambuknya seperti Suwela di arena?”

“Tolong, panggilkan anak itu.”

Dua orang anak-anak muda kemudian melangkah masuk regol. Mereka terkejut ketika mereka menjumpai Bramanti sudah berada di balik pintu.

“He, kau mengintip kami ya?” bertanya salah seorang dari kedua anak-anak muda itu.

Bramanti menggelengkan kepalanya. “Bukan maksudku. Aku memang tertarik kepada sebuah pedati yang lewat di jalan ini.”

Kedua anak-anak muda itu saling berpandangan. Kemudian yang seorang bertanya, “Apakah anehnya pedati lewat di jalan ini, dan apakah yang menarik?”

Bramanti tidak menjawab. Ketika matanya membentur tatapan mata anak muda itu cepat-cepat digesernya pandangannya.

“Kenapa?” anak muda itu mendesak.

“Biasanya pedati-pedati lewat di jalan sebelah desa.”

“Apa salahnya mengambil jalan ini untuk pergi ke rumah Panjang?”

Bramanti mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah Panjang ada di dalam pedati itu?”

“Ya. Ia terluka semalam dalam pendadaran. Nah, sekarang kau dipanggilnya.”

“Aku,” bertanya Bramanti.

“Ya, kau.”

“Kenapa aku?”

“Jangan ribut. Datanglah kepadanya, kau akan tahu kenapa Panjang memanggilmu.”

Bramanti ragu-ragu sejenak. Dan karena ia tidak beranjak dari tempatnya maka hampir bersamaan kedua anak-anak muda itu berkata, “Cepat.”

Bramanti tidak dapat menolak lagi. Dengan ragu-ragu ia melangkah keluar regol.

Ketika ia memandang berkeliling maka dilihatnya beberapa anak-anak muda menatapnya dengan pandangan aneh.

“Panjang ada di dalam pedati itu,” desis salah seorang dari anak-anak muda itu.

Bramanti melangkah mendekat. Dengan ragu-ragu pula ia menjengukkan kepalanya dari arah belakang pedati itu. Dilihatnya Panjang berbaring di dalamnya, bersandar setumpuk jerami kering.

“He, kaukah itu Bramanti,” bertanya Panjang dengan suara yang masih lemah.

“Apakah kau heran karena aku memanggil kau?” bertanya Panjang pula.

Dan sekali lagi Bramanti menganggukkan kepalanya.

“Apakah kau tidak datang ke Kademangan pagi tadi?” Panjang bertanya pula, dan kali ini Bramanti menggelengkan kepalanya.

Panjang menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia terdiam, namun tiba-tiba ia bertanya, “Dimanakah kau semalam Bramanti?”

Bramantilah yang kemudian termenung. Ia mengangkat wajah ketika Panjang bertanya sekali lagi, “Dimana?”

Bramanti tidak dapat berbuat lain. Ia harus menjawab pertanyaan itu betapapun singkatnya. Maka jawabnya pendek. “Di rumah.”

Panjang mengerutkan keningnya. Tetapi jawaban itu belum cukup meyakinkannya.

Karena itu ia bertanya lagi, “Bramanti, kenapa kau tidak datang ke Kademangan pagi tadi, ketika hampir setiap anak-anak muda datang ke sana menjenguk aku dan Suwela? Apakah kau masih mendendam? Maksudku, bukan karena kematian ayahmu, tetapi karena perlakuan Suwela di arena?”

Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Tetapi ia terpaksa menjawab pula dengan kata-kata, “Tidak Panjang. Sama sekali tidak. Aku tidak mendendam. Tetapi justru aku takut kalau kehadiranku akan dapat menumbuhkan persoalan baru lagi bagiku.”

Panjang mengerutkan keningnya. Dicobanya untuk meyakinkan dirinya, bahwa suara itu adalah suara yang didengarnya semalam.

Namun demikian Panjang masih tetap ragu-ragu. Tekanan kata-katanya agak berbeda meskipun Panjang dapat menduga, bahwa semalam kata-kata itu diucapkan dalam keadaan tergesa-gesa.

Namun tiba-tiba Panjang itu mengangkat kepalanya. Betapapun lemahnya, namun ia mencoba untuk bangkit dan bersandar pada kedua tangannya. Dengan dada yang berdebar-debar ia memandang dada Bramanti yang digarisi oleh jalur-jalur merah.

Dengan serta merta Panjang bertanya, “Kenapa dadamu itu Bramanti?”

Bramanti tidak segera menjawab. Di amat-amatinya kemudian ia berkata, “Aku tergelincir pagi tadi, ketika aku mengambil bumbung legen dari batang kelapa itu.”

“Apakah kau tidak berbohong Bramanti?”

“Kenapa aku mesti berbohong? Apakah keuntunganku.”

“Dan jalur-jalur di lengan dan tengukmu itu?”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Desahnya, “Karena kebodohanku. Inilah akibat cambuk Suwela kemarin.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dugaannya masih juga terpancang di dalam hatinya. Bahwa suara bayangan hitam semalam pernah didengarnya. Apalagi ketika ia melihat jalur-jalur di dada Bramanti itu. Namun Panjang masih tetap ragu-ragu.

“Baik Bramanti,” berkata Panjang kemudian, “Aku hanya ingin berbicara denganmu.

Mungkin kau tahu maksudku, tetapi mungkin pula sama sekali tidak. Aku kira sebaiknya kau berterus terang apabila kau mengerti maksud pembicaraan ini.”

Tetapi Panjang menjadi kecewa ketika Bramanti menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Aku tidak tahu maksudmu Panjang.”

Panjang menggigit bibirnya. Kemudian diletakkannya kepalanya di atas jemari kering itu kembali sambil berkata, “Baiklah. Terima kasih Bramanti,” kemudian kepada kawannya yang mengemudikan pedati itu ia berkata, “Marilah, kita berjalan lagi. Temunggul akan mengunjungi aku di rumah setelah ia datang ke rumah Suwela. Bahkan mungkin sekarang Temunggul sudah berada di rumahku.”

Pedati itu kemudian berjalan lagi dengan suaranya yang berderak-derak di atas jalan yang berbatu-batu. Semakin lama semakin jauh. Sekali-kali anak-anak muda yang berjalan di sisi pedati itu masih juga berpaling memandangi wajah Bramanti yang tegang, yang masih saja berdiri di tengah jalan.

“Hem,” Bramanti menarik nafas dalam sekali. Namun sejenak kemudian ia melangkah masuk ke dalam regol halamannya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Cerdik juga Panjang itu.”

“Ah,” desahnya kemudian, “Aku tidak peduli apa yang terjadi atasnya. Lebih baik aku tidak mengetahui apa-apa daripada melibatkan diri dalam kesulitan yang mungkin sulit terkendali untuk seterusnya.

Tetapi Bramanti tidak dapat berbuat demikian. Setiap kali ia masih juga memperhatikan perkembangan yang terjadi di Kademangan Candi Sari. Bahkan kadang-kadang terlalu sulit baginya untuk tidak ikut memikirkan persoalan-persoalan yang menyangkut Kademangannya. Namun bagaimanapun juga Bramanti tetap berusaha untuk tidak mencampurinya secara langsung.

Sementara itu Suwela dan Panjang berangsur-angsur menjadi baik kembali. Keduanya sudah dapat berada di lingkungan anak-anak muda lagi, meskipun masih harus tetap berhati-hati dengan luka-lukanya. Geseran-geseran kecil saja akan dapat membuat luka-luka itu berdarah lagi. Namun untuk tetap tinggal di rumah, agaknya terlalu menjemukan bagi kedua anak-anak muda itu.

Yang mengherankan bagi Bramanti setelah peristiwa sepasang harimau itu, Panjang kadang-kadang ke rumahnya tanpa maksud tertentu. Berbeda dengan anak-anak muda yang lain. Panjang bersikap jauh lebih baik kepadanya. Meskipun kemudian Panjang tidak pernah memperkatakan harimau itu lagi, tetapi ia masih tetap berkunjung ke rumah Bramanti apabila lewat jalan di depan regol halaman rumah itu.

“Kau terlampau menyendiri Bramanti,” berkata Panjang.

“Bukan maksudku,” jawab Bramanti. “Tetapi kau tahu, akibat yang harus terjadi apabila aku datang di antara mereka. Aku selalu mengalami gangguan-gangguan yang dapat membuat aku hampir kehilangan akal. Kadang-kadang timbul niatku untuk pergi lagi dari Kademangan ini. Tetapi aku tidak dapat meninggalkan ibu yang semakin tua, dan juga aku harus menunggui tanah ini, tanah warisan.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kami anak-anak muda Candi Sari, masih dibayangi oleh ceritera tentang kematian ayahmu, sehingga mula-mula kami bercuriga, kalau-kalau kau ingin melepaskan dendam.”

“Sudah aku katakan. Aku tidak akan melakukannya.”

“Karena itu, kau harus telaten. Setiap kali kau datang ke Kademangan dan berkumpul dengan kawan-kawan yang lain. Pada suatu saat mereka akan melupakannya dan kau akan menjadi keluarga kami kembali seperti pada masa kanak-kanak.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku akan mencoba. Mudah-mudahan aku berhasil. Tetapi apabila setiap kali aku mengalami perlakuan yang kasar, mungkin aku terpaksa meninggalkan Kademangan ini lagi.”

Panjang memandangi wajah Bramanti dengan penuh keragu-raguan. Tetapi ia tidak segera dapat mengambil kesimpulan. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Bramanti, dua hari lagi, aku dan Suwela akan diterima dengan resmi menjadi anggota pengawal Kademangan ini. Dengan demikian aku sudah berhak memakai baris merah pada kedua ujung lengan bajuku.”

“Aku mengucapkan selamat Panjang,” jawab Bramanti yang kemudian bertanya. “Apakah kekhususan dari anggota pengawal itu dari anak-anak muda yang lain?”

“Sebenarnya justru kewajiban kamilah yang menjadi lebih banyak. Kami harus berdiri di depan apabila terjadi sesuatu dengan Kademangan ini.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia dicengkam oleh keragu-raguan untuk mengatakan isi hatinya. Namun kemudian terucapkan juga, “Panjang, bagaimana pendapatmu tentang Panembahan Sekar Jagat sebagai seorang anggota pengawal.”

Seleret warna merah memercik di wajah Panjang. Namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali.

“Kenapa kau bertanya tentang Panembahan Sekar Jagat?” bertanya Panjang.

“Bukankah setiap kali ia datang ke Kademangan ini untuk merampas hak milik rakyat di Kademangan ini? Semakin lama menjadi semakin berani. Apakah itu bukan termasuk kewajiban dari anggota Pengawal dan bahkan setiap laki-laki di Kademangan ini?”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau benar. Tetapi siapa yang dapat menjamin bahwa dengan demikian Kademangan ini justru tidak akan dihancurkannya? Apakah kita yakin bahwa kita akan dapat melawan seluruh kekuatan Panembahan Sekar Jagat yang menurut pendengaran kami memiliki kekuatan sepasukan orang-orang yang sukar dicari tandingannya.”

Bramanti tidak menyahut lagi. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja.

“Untuk sementara kita tidak dapat berbuat apa-apa atas anak-anak Panembahan Sekar Jagat itu,” berkata Panjang kemudian. “Dan aku kira kita tidak usah memikirkannya. Ki Jagabaya pasti akan membuat perhitungan-perhitungan yang baik, apabila saatnya tiba.”

“Ya,” Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Datang sajalah dua hari lagi di Kademangan.”

“Aku takut, Panjang. Aku takut kalau peristiwa di arena pendadaran itu terulang lagi.”

Panjang mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Penerimaan secara resmi itu dilakukan pada malam hari. Kau akan mendapat kesempatan cukup untuk melindungi dirimu di antara para penonton yang lain. Menurut rencana penerimaan kami berdua kali ini akan menjadi lebih meriah dari waktu-waktu lampau karena peristiwa sepasang harimau yang hampir mengambil nyawaku itu, seandainya tidak ada seseorang yang menolong kami.

Bramanti tidak menyahut. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.

“Kau akan dapat melihat kemeriahan Kademangan ini, meskipun kami selalu merasa dibayangi oleh Panembahan Sekar Jagat.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan aku mempunyai keberanian untuk melihat.”

“Kau akan melihat gadis-gadis Kademangan ini menari dan berdendang,” Panjang berhenti sejenak, lalu. “Apakah kau sudah mengenal sekuntum bunga di antara gadis-gadis di Kademangan ini? Seorang penari yang tidak ada bandingnya?”

Bramanti menggelengkan kepalanya. “Belum,” jawabnya.

“Tentu sudah kau kenal di masa kanak-kanak.”

“Siapa?”

“Namanya Ratri,”

“O,” tiba-tiba saja Bramanti berdesir. Namun ia berusaha untuk melenyapkan segala macam kesan di wajahnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Ya, aku memang sudah menenalnya. Bukankah Ratri balak isteri Temunggul itu yang kau maksud?”

“He?” Panjang mengerutkan keningnya, “Siapa yang mengatakan bahwa Ratri bakal istri Temunggul?”

“Oh,” Bramanti tergagap. “Maksudku, bukankah mereka telah berjanji untuk kemudian hidup bersama-sama.”

Tiba-tiba Panjang tertawa. Katanya, “Kau salah. Mungkin kau pernah melihat Temunggul berjalan mengikuti Ratri. Tetapi mereka sama sekali belum membuat hubungan apapun.”

“Temunggul sendiri berkata kepadaku,” akhirnya Bramanti berkata terus terang.

Suara tertawa Panjang menjadi semakin keras, sehingga perutnya berguncang-guncang. “Temunggul hanya bergurau,” katanya.

Tetapi dengan sungguh-sungguh Bramanti menjawab. “Temunggul tidak pernah bergurau dengan aku. Ia mengatakannya dengan wajah yang tegang.”

“Kenapa tiba-tiba saja hal itu dikatakan kepadamu,” bertanya Panjang.

Bramanti terdiam. Ia menjadi bingung untuk menjawab. Sehingga katanya demikian, “Aku kurang menyadari waktu itu, apakah sebabnya tiba-tiba saja Temunggul mengatakannya.”

“Itu suatu lelucon yang baik bagi kami.”

Bramanti tiba-tiba memotong. “Jangan. Jangan kau tanyakan kepada Temunggul. “Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya. Tetapi barangkali kau perlu mendengar juga, bahwa Temunggullah yang tergila-gila kepada gadis itu. Gadis itu sendiri sama sekali tidak tahu menahu. Seandainya ia tahu, ia sama sekali tidak menaruh perhatian atasnya, meskipun di antara anak-anak muda di Kademangan ini Temunggul adalah seorang yang paling unggul. Unggul dalam segala hal.”

Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Lalu anak muda yang manakah yang akan dicarinya?”

“Entahlah,” jawab Panjang, “Kalau ia tahu, mungkin anak muda yang menolongku itulahyang dicarinya.

“Ah,” Bramanti berdesah. Tetapi kemudian ia tersenyum. “Apakah Ratri mengenal orang yang menolongmu? Dan apakah kau yakin bahwa yang menolongmu itu seorang anak muda, dan bukan seorang yang telah melampaui setengah abad?”

Panjang tertawa. Namun kemudian ia berdiri sambil berkata, “Ah, aku akan lupa waktu bila aku berbicara tentang Ratri. Pergi sajalah dua hari lagi ke Kademangan. Gadis itu pasti akan menari. Mungkin tari Kirana dan Panji, tetapi mungkin juga yang lain, yang dipetik dari Kisah Mahabarata atau kisah-kisah yang lain.”

Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Akan aku coba kalau aku cukup mempunyai keberanian.”

Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, “Baiklah. Sekarang aku minta diri.”

Panjang pun kemudian meninggalkan halaman rumah Bramanti, sementara Bramanti kembali meletakkan dirinya duduk di bawah sebatang pohon sawo yang rindang. Anak muda itu tidak menyadari, bahwa ibunya mengintip dari celah-celah pintu rumahnya. Sambil mengelus dada perempuan tua itu berkata kepada dirinya sendiri. “Syukurlah. Agaknya Bramanti telah mendapat seorang teman.”

Dua hari kemudian Kademangan Candi Sari menjadi sibuk. Setiap orang telah memperkatakan masa-masa penerimaan Suwela dan Panjang yang lebih meriah dari masa-masa sebelumnya, karena masa-masa yang menegangkan yang telah dialami oleh kedua anak-anak muda itu.

Ketika matahari merendah di ujung langit, maka Kademangan menjadi semakin ramai. Anak-anak sudah mulai berdatangan. Mereka berlari-lari di halaman sambil berteriak-teriak. Seolah-olah dunia bagi mereka adalah ajang kegembiraan, tanpa kesulitan dan tanpa keprihatinan.

Angin senja yang silir telah menggerakkan daun-daun nyiur yang hijau kemerah-merahan oleh sinar matahari yang masih tersangkut. Seakan-akan ikut menari-nari dalam kegembiraan yang menyeluruh di Kademangan Candi Sari.

Semakin rendah matahari, halaman Kademangan menjadi semakin meriah. Ketika warna-warna hitam telah mulai menyaput halaman itu, maka lampu-lampu dan obor-obor pun mulai dinyalakan orang. Anak-anak menjadi semakin ramai berlari-lari sembunyi-sembunyian.

Satu-satu anak-anak muda telah mulai berdatangan pula. Bahkan orang-orang tua dan perempuan-perempuan yang ingin melihat kemeriahan yang jarang-jarang diselenggarakan.

Temunggul dan beberapa orang yang berkewajiban menyelenggarakan malam keramaian itu telah menjadi sibuk mengatur segala sesuatunya. Mereka harus menempatkan dan mengatur tempat-tempat duduk dan tempat-tempat upacara penerimaan. Sedang seperangkat gamelan telah di atur pula di bagian depan.

Sementara itu di gandok sebelah Timur, para penari telah sibuk memilih pakaian yang akan mereka pakai. Sejenak kemudian merekapun telah mulai berhias. Di antara mereka terdapat seseorang penari yang paling dikagumi di Kademangan itu, Ratri.

Ratri sendiri, meskipun ia menyadari kelebihannya dari kawan-kawannya, namun sebenarnya ia tidak ingin sama sekali mendapat sanjungan yang berlebih-lebihan.

Sebagai seorang gadis ia memang berbangga di dalam hati. Tetapi ia justru cemas akan kelebihan-kelebihan yang ada padanya. Kelebihan-kelebihan itu akan sangat menarik perhatian orang. Apalagi anak-anak muda. Dengan demikian maka kelebihan-kelebihan yang ada padanya itu akan dapat menyeretnya ke dalam kesulitan.

Ketika gelap malam telah menyelubungi Kademangan Candi Sari, maka upacara penerimaan kedua anak-anak muda itupun segera dimulai. Temunggul bersama Ki Demang dan Ki Jagabaya telah siap untuk mengucapkan kata-kata penerimaan dan memberikan baju yang berjeleret merah di kedua ujung lengannya.

Tetapi upacara itu sendiri sama sekali tidak menarik bagi anak kecil. Mereka bersungut-sungut ketika anak-anak muda, kakak-kakak mereka bertepuk tangan menanggapi upacara itu. Yang ditunggu oleh anak kecil adalah berbagai macam pertunjukkan. Dan bahkan sebagian anak-anak muda pun mengharap agar upacara itu pun segera selesai, agar mereka segera dapat menyaksikan berbagai macam tari-tarian. Terutama tarian yang akan dibawakan oleh Ratri.

Tepuk tangan seolah-olah meruntuhkan langit ketika upacara penerimaan itu sudah selesai. Suwela dan Panjang kini telah berhak memakai baju-baju yang berciri anggota Pengawal Kademangan.

Dengan demikian maka yang berikutnya adalah acara keramaian dengan berbagai macam pertunjukan.

Mata para penonton seolah-olah terpaku ketika dipendapa itu mulai muncul seorang penari. Dan penari itu adalah Ratri. Dengan indahnya ia membawakan tarian tunggal. Tarian yang menggambarkan seorang gadis yang meningkat remaja sedang bersolek. Kemudian berdendang sambil mendukung sebuah golek, yang seolah-olah seorang bayi yang sedang dibuai oleh ibunya agar segera tidur.

Ingatan penonton segera dilarikan kepada sebuah golek yang besumber pada cerita Panji, Timun Emas. Timun Emas yang sedang bermain-main dengan golek kencana ketika tiba-tiba seorang raksasa datang hendak menangkapnya.

Hampir tidak ada mata yang sempat berkedip menyaksikan tarian itu. Bukan sekadar tariannya, tetapi penarinya. Seorang gadis remaja yang cantik.

Dalam keadaan yang demikian, tidak seorang pun yang sempat memperhatikan, bahwa di antara para penonton terdapat empat orang yang tidak begitu di kenal di Kademangan Candi Sari. Empat orang yang bertubuh kekar dan kasar. Seorang di antara mereka sama sekali tidak melepaskan sekejap pun wajah Ratri yang seolah-olah bulan bulat yang cemerlang di langit.

Orang itu menggapit kawannya yang berdiri di sampingnya sambil berbisik, “He, siapakah gadis itu?”

“Aku dengar orang menyebut namanya Ratri.”

“Aku belum pernah melihat gadis secantik itu.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Bagaimana kalau sekali-kali kita tidak mengambil harta di Kademangan ini?”

“Maksudmu?”

Orang itu tidak menyahut, tetapi ia tersenyum. Senyumnya membayangkan suatu maksud yang sama sekali tidak semanis senyum itu sendiri. Sedang kumisnya yang lebat bergerak-gerak di atas bibirnya yang tebal.

“Kalau itu yang kau maksudkan,” berkata kawannya yang agaknya dapat dimengerti maksud orang yang berkumis itu, “Terserahlah kepadamu. Itu tidak termasuk tugas kita.”

“Apa salahnya kadang-kadang kita memikirkan diri kita sendiri.”

Tiba-tiba kawannya yang lain menyahut, “Aku sependapat. Apa salahnya? Kita tidak mengingkari kewajiban kita.”

“Aku tidak berkeberatan. Gadis itu memang cantik sekali.”

“Jadi bagaimana? Apakah kita ambil saja gadis itu sekarang juga? Tidak akan ada seorang pun yang berani merintangi. Seandainya ada, maka orang itu harus kita selesaikan, sebagai contoh bahwa niat kita tidak akan dapat dihalangi lagi oleh siapapun.”

Tetapi kawannya menggelengkan kepalanya. “Kau tidak pernah dapat bersabar. Kalau kau keberatan berbuat demikian, halaman ini akan menjadi kacau. Kemarahan yang tidak tertahankan akan membuat anak-anak muda itu menjadi gila. Mungkin mereka tidak sabar lagi dapat menahan hati. Seandainya kita harus berkelahi melawan mereka dalam keadaan serupa itu, kita masih harus berpikir lagi. Apalagi yang kita ambil kali ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan tugas kita.”

“Jadi bagaimana sebaiknya?”

“Nanti sesudah semua ini selesai. Kita ikuti ke mana gadis itu pergi.”

“Aku sudah pernah melihat rumahnya,” tiba-tiba yang seorang, yang sejak semula tidak ikut berbicara memotong.

“Dimana, dan kenapa kau tahu rumahnya?”

“Aku pernah mengambil sesuatu dari rumahnya. Gadis itu memang bernama Ratri.”

“Lalu?”

“Kita ambil saja gadis itu di rumahnya.”

“Aku tidak sabar. Kita tunggu saja ia di jalan ke rumahnya itu.”

“Baiklah.”

Keempatnya kemudian telah sepakat untuk mengambil gadis itu di jalan pulang. Mereka sama sekali tidak perlu mencemaskan apapun di Kademangan yang seolah-olah telah mereka kuasai itu. Apalagi keempat orang itu terlampau yakin, bahwa tidak seorangpun dari penghuni Kademangan ini yang pantas diperhitungkan. Keempat orang itu tahu betul bahwa orang-orang Kademangan ini selalu diselubungi ketakutan apabila mereka mendengar nama Panembahan Sekar Jagat. Dan sekali-kali mereka sempat juga melihat tanpa diketahui oleh orang-orang Kademangan itu, latihan-latihan yang diadakan oleh para anggota pengawal yang kadang-kadang dipimpin oleh Ki Jagabaya sendiri.

Pertunjukan seterusnya sama sekali tidak menarik lagi bagi keempatnya. Mereka bahkan menjadi gelisah dan darah mereka seakan-akan telah merayap sampai ke kepala. Setiap kali Ratri naik ke pendapa, wajah-wajah mereka menjadi merah padam.

“Aku hampir menjadi gila,” desis yang berkumis.

Yang lain tidak menyahut. Mereka hanya berdesis sambil menggigit bibir mereka.

Betapa lambatnya, malam pun menjadi semakin malam. Satu-satu acara di pendapa itu terselesaikan. Dan keramaian itupun mendekati akhirnya.

“Setan,” orang berkumis itu menggerutu. “Hampir tengah malam. Ada saja pertunjukkan yang masih disajikan. Gila. Apakah mereka tidak lelah juga?”

Ketika kawan-kawannya tidak menjawab. Tetapi mereka pun menjadi tidak sabar pula.

Tetapi akhirnya semua acarapun telah lewat. Satu-satu para penonton meninggalkan halaman Kademangan. Anak-anak yang tertidur di dukung oleh ayah atau ibu mereka di bawa pulang ke rumah masing-masing.

Yang terakhir meninggalkan halaman itu adalah para penari dan anak-anak muda anggota pengawal Kademangan yang harus mengantar mereka, selain yang memang bertugas ronda di Kademangan. Karena mereka berjalan ke arah yang berbeda, maka Temunggul telah membagi para pengawal dalam kelompok-kelompok kecil ke arah yang berbeda-beda pula. Namun sudah tentu bahwa Temunggul sendirilah yang akan mengantarkan Ratri pulang, bersama satu dua orang yang rumahnya berdekatan.

“Aku berani pulang sendiri,” bisik Ratri kepada kawannya. “Temunggul tidak perlu mengantarkan aku.”

“Huh,” kawannya, seorang gadis yang gemuk

mencubitnya, “Kau ini ada-ada saja Ratri. Apakah keberatannya? Apalagi Temunggul sendiri yang akan mengantarkanmu. Adalah kebetulan saja rumahku dekat dengan rumahmu. Kalau tidak, tentu Temunggul tidak akan mengantarkan aku.”

“Apakah bedanya aku dan kau dan yang lain-lain. Dan apakah bedanya Temunggul dan para pengawal yang lain.”

Temannya yang gemuk itu tertawa. Katanya, “Bedanya, kau cantik seperti bidadari. Aku tidak.”

“Bohong, bohong,” Ratrilah yang kemudian mencubiti kawannya yang gemuk itu. Meskipun kulitnya seakan-akan kebal, namun ia menjerit kecil, “Aduh, jangan Ratri.”

“Kau selalu menggangguku.”

“Baiklah, aku tidak mengganggumu lagi. Tetapi anggaplah tidak ada bedanya, siapapun yang mengantarkan. Temunggulpun tidak berkeberatan. Begitu.”

“Ah,” Ratri tidak menyahut.

Kawannya yang gemuk itu tersenyum ketika Temunggul masuk ke dalam gandok sambil berkata, “Semua sudah pulang. Kini aku sudah selesai. Marilah, aku antar kalian pulang.”

Ratri tidak menjawab. Dijinjingnya selendangnya dan beberapa macam peralatan kecil yang lain. Kemudian bersama kawannya yang gemuk itu ia melangkah ke luar. Di luar masih ada seorang gadis lain yang akan berjalan bersamanya.

Kemudian mereka bertiga berjalan berbimbing tangan di dalam gelapnya malam. Temunggul dan seorang pengawal yang lain berjalan di belakang mereka bertiga. Mereka hampir tidak berbicara sepatah katapun. Dalam dinginnya malam, mulut-mulut mereka serasa menjadi terlampau malam untuk dibuka.

Tetapi, tidak seorang pun di antara mereka yang menyadari bahwa empat pasang mata yang tajam selalu memperhatikan mereka. Keempat orang itu adalah orang yang menyebut dirinya kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, yang dipimpin oleh Wanda Geni.

“Lihat,” berkata Wanda Geni. “Mereka telah datang.”

“Bertiga,” sahut kawannya.

“Tidak, berlima,” berkata yang lain.

“Bukan, maksudku tiga orang gadis dan dua pengantarnya.”

“Ya. Mereka tidak akan menyangka, bahwa mereka akan bertemu dengan kita disini, di desa mereka sendiri.”

Wanda Geni tersenyum. Katanya, “Aku akan membawanya pulang. Bukankah tidak termasuk pantangan bagi kita? Yang tidak diperkenankan adalah hasil rampasan yang berupa harta benda. Tetapi kali ini sama sekali bukan harta dan bukan pula benda-benda berharga.”

“He,” kawannya mengerutkan keningnya, “Kenapa kau bawa pulang?”

“Itu urusanku. Kalau kalian memerlukannya, ambillah yang dua.”

Kawan-kawannya mengerutkan alisnya. Tetapi mereka tidak membantah lagi, karena iring-iringan kecil itu sudah menjadi semakin dekat.

“Biarlah mereka lampau. Aku akan mencegatnya di depan, dan kalian menahan di belakang.”

Ketiga kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sejenak kemudian Ratri dan kedua kawannya di antar oleh Temunggul dan seorang anggota pengawal yang lain, lewat tepat di hadapan ke empat orang yang sedang mengintai dari balik rimbunnya dedaunan di dalam halaman seseorang. Kepala-kepala mereka tersembul di antara helaian daun-daun perdu di atas pagar-pagar batu.

“Sekarang,” tiba-tiba Wanda Geni berdesis.

Seperti anak-anak tupai, maka keempatnya segera berloncatan lewat di atas pagar-pagar batu, langung ke tengah-tengah jalam. Wanda Geni mencegat di depan, sedang di belakang mereka tiga orang kawan-kawannya.

Temunggul terkejut bukan buatan. Apalagi ketiga gadis-gadis itu sehingga mereka terpekik dan melangkah surut. Namun ketika di belakang mereka pun berdiri tiga orang yang belum mereka kenal, maka mereka pun segera menjadi gemetar.

“Siapa kau,” bertanya Temunggul kepada seorang yang berdiri di depan.

Terdengar suara tertawa perlahan-lahan, “Jangan bikin ribut anak-anak. Hari telah larut malam.”

“Siapa kau,” sekali lagi terdengar suara Temunggul.

Suara tertawa itu masih terdengar. Di antara suara tertawa itu orang-orang yang berdiri di hadapan iring-iringan itu menjawab, “Namaku Wanda Geni.”

“He,” hampir terpekik Temunggul mendengar nama itu. Apalagi pengawal yang seorang dan ketiga gadis-gadis itu.

“Tetapi, tetapi,” Temunggul menjadi agak tergagap. “Apakah maksud kalian mencegat perjalanan kami. Bukankah masih belum lama kalian datang ke Kademangan ini untuk mengambil berbagai macam barang-barang rakyat kami?”

“Ya, memang belum waktunya kami datang kembali ke Kademangan ini untuk memungut upeti,” jawab Wanda Geni.

“Lalu, apakah maksud kalian menghentikan kami?”

Suara tertawa Wanda Geni semakin menggetarkan jantung Temunggul dan apalagi gadis-gadis itu.

“Kali ini aku mempunyai keperluan yang khusus,” jawab Wanda Geni. “Aku tidak memerlukan harta dan benda-benda yang berharga, tetapi aku memerlukan yang lain.

Dada Temunggul menjadi semakin berdebar-debar.

“Aku adalah manusia biasa seperti kau, seperti orang-orang lain itu pula. Aku memerlukan isi apabila hidupku terasa sepi. Nah, mungkin kalian dapat mengerti sekarang. Ketahuilah bahwa isteriku telah mati dua tahun yang lalu. Setengah tahun kemudian aku mencoba kawin lagi. Tetapi isteriku yang kedua itu sama sekali tidak setia. Itulah sebabnya, aku melarikan diri dari pergaulan yang wajar. Aku mencoba melupakan semua kepahitan itu dengan caraku. Namun ternyata aku tidak dapat lari dari kesepian. Nah, aku harap kalian dapat membantu.”

Kata-kata itu bagaikan petir yang meledak di atas kepala gadis-gadis itu. Segera mereka menangkap maksud Wanda Geni.

“Dalam kesepian itu, tiba-tiba aku melihat seorang yang tiada taranya yang pernah aku jumpai. Aku mendengar gadis itu bernama Ratri. Nah, sekarang soalnya, apakah aku dapat membawa Ratri pulang.”

Ratri hampir menjadi pingsan mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta dipeluknya kedua kawannya erat-erat. Nafasnya menjadi terengah-engah dan tidak sepatah kata pun dapat diucapkan.

“Kemudian,” berkata Wanda Geni. “Ketiga kawan-kawanku itupun memerlukan teman. Bukankah kedua gadis itu dapat kami bawa serta untuk mengawani Ratri.”

Temunggul berdiri tegak seperti patung. Jantungnya bergejolak seperti di landa angin pusaran. Sebagai seorang pengawal ia wajib melindungi setiap orang yang berada di dalam lingkungan Kademangan Candi Sari. Sebagai seorang laki-laki ia harus melindungi gadis-gadis itu. Apalagi gadis itu adalah Ratri. Tetapi tiba-tiba saja ia harus berhadapan dengan Wanda Geni. Dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.

Peluh dingin telah mengalir membasahi segenap pakaiannya. Pakaian yang paling baik yang dipunyainya. Sedang kawannya, seorang pengawal yang lain, membeku pula di tempatnya.

Kedua anak-anak muda itu sebenarnya bukan penakut. Tetapi berhadapan dengan orang-orang Sekar Jagat, mereka terpaksa membuat terlampau banyak pertimbangan-pertimbangan.

“Bagaimana? Bukankah kau yang bernama Temunggul yang menjadi pemimpin anak-anak muda Kademangan ini.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya di luar sadarnya, “Ya,” jawabnya.

“Kalau begitu, kau dapat memutuskan sekarang. Apakah kau berkeberatan atau tidak,” berkata Wanda Geni kemudian.

Temunggul tidak segera dapat menjawab. Dipandanginya senjata Wanda Geni yang masih tergantung dipinggangnya. Kemudian tanpa sesadarnya ia berpaling, memandangi ketiga kawan-kawan Wanda Geni yang berdiri dengan garangnya.

“Anak muda,” berkata Wanda Geni. “Apakah kalian ingin melawan?”

Keringat Temunggul dan seorang kawannya itu semakin deras mengalir di punggung dan di kening. Sejenak mereka saling berpandangan.

“Bagaimana?” desak Wanda Geni.

“Kenapa kalian berbuat seperti itu?” bertanya Temunggul tiba-tiba.

“He? Kau bertanya kenapa?”

“Ya.”

“Sebaiknya kalian tidak usah mencari sebab itu. Sekarang kalian harus menjawab, apakah kalian akan melawan atau tidak?”

Sebenarnya Temunggul mengakui di dalam hatinya, bahwa ia tidak akan mampu melawan Wanda Geni. Apalagi berempat, sedang seorang lawan seorang pun ia tidak akan berbuat banyak. Namun apakah ia harus menyerahkan Ratri di bawa orang-orang liar itu?

“Jawab,” tiba-tiba Wanda Geni membentak, kemudian katanya. “Aku dapat berbuat apa saja yang aku kehendaki. Membunuh kau berdua dan membawa gadis-gadis ini. Kalau kau membuat aku marah, aku dapat pergi sambil membakar satu dua atau bahkan sepuluh duapuluh rumah di Kademangan ini. Biarlah semua orang terbangun dan mengeroyok kami berempat. Maka kalian akan melihat bangkai yang berhamburan di seluruh halaman Kademangan ini. Bahkan seandainya Ki Demang, Jagabaya dan bahu Kademangan yang lain ikut serta pula mereka pun akan menjadi tawur dan rabuk tanah Kademangan ini.”

Temunggul masih belum menjawab. Namun ketika sekilas terpandang wajah Ratri yang ketakutan, tiba-tiba kejantanannya tersentuh, sehingga dengan tatag ia berkata, “Jangan kau teruskan niat itu. Lebih baik kalian mengambil harta benda yang ada di Kademangan ini, aku tidak akan berani menghalangi. Tetapi tidak semestinya kalau kau tiba-tiba menginginkan seorang gadis. Betapapun biadabnya cara-cara hidup kita sebagai manusia, namun merampas kebebasan seseorang dengn semena-mena apalagi seorang gadis, adalah tidak masuk di dalam akal kami.”

“He,” Wanda Geni mengerutkan keningnya. “Kau berani menasehati aku he? Kau berani menentang keinginan kami apapun alasannya? Apalagi dengan demikian kau menganggap bahwa kami telah berbuat melampaui kebiadaban orang yang paling biadab.”

“Kau ternyata dapat menilai persoalan ini sendiri. Baiklah aku memang ingin mengatakan demikian.”

Wajah Wanda Geni menjadi merah semerah darahnya, ia tidak pernah mendengar seorang berani menunduhnya sedemikian menyakitkan hati. Apalagi yang mengucapkan tuduhan itu adalah seorang kanak-kanak yang baru pandai bermain loncat-loncatan. Seandainya di tempat itu tidak ada seorang gadis yang bernama Ratri, maka Wanda Geni pasti sudah menjadi buas dan liar. Dan Temunggul pun pasti tidak akan dapat melihat matahari terbit di esok hari.

Betapa dadanya akan pecah, namun Wanda Geni masih menahan dirinya. Namun ia tidak mau membiarkan Temunggul mengumpatinya lagi. Karena itu, maka sebagai seorang pemimpin dari kelompok kecil pengikut Panembahan Sekar Jagat, Wanda Geni segera mengangkat wajahnya sambil berkata dengan suara gemetar, “He, kenapa kalian tidak berbuat sesuatu. Anak ini telah menghina aku, tetapi ia sama sekali bukan lawanku.”

Ketiga kawan-kawan Wanda Geni mengerutkan keningnya. Mereka agak menjadi heran, bahwa Wanda Geni masih saja dapat menahan dirinya. Namun perintah itupun telah menggerakkan mereka selangkah maju.

Temunggul bergeser setapak. Ternyata yang harus dihadapinya adalah ketiga orang yang berdiri di belakang.

“Tetapi, berkata Wanda Geni. “Jangan kau bunuh anak-anak itu. Buatlah mereka jera, supaya mereka tidak menghalangi niat kita. Biarlah aku menunggui gadis-gadis itu supaya tidak meninggalkan kita disini.”

“Baiklah,” jawab salah seorang temannya. Kemudian katanya kepada Temunggul. “Aku masih ingin memperingatkan kau Temunggul. Bukankah namamu Temunggul? Sebaiknya kau tidak usah melawan. Sebab di dalam perkelahian, kadang-kadang aku lupa diri. Mungkin aku sama sekali tidak bermaksud membunuhmu. Tetapi tanpa aku sengaja tanganku menyentuh keningmu, sehingga kau mengalami gegar otak. Kalau kau mati dalam keadaan demikian, jangan sekali-kali menyalahkan aku.”

Darah Temunggul tiba-tiba menjadi mendidih. Bagaimanapun juga ia adalah seorang laki-laki. Karena itu maka jawabnya, “Aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Tetapi aku tidak dapat membiarkan kalian berbuat biadab terhadap gadis-gadis Kademangan kami. Selama ini kami tidak berani berbuat apa-apa terhadap kalian, meskipun kalian telah merampas harta benda kami. Tetapi perbuatan kalian sudah melampaui batas kesabaran kami disini.”

“Jangan kau beri kesempatan ia berbicara lagi,” Wanda Geni menjadi tidak sabar. “Bungkam mulutnya. Kemudian kita tinggalkan tempat ini, sebelum aku menjadi semakin marah dan membakar seluruh Kademangan ini.”

“Baik, baik,” jawab kawannya. Mereka pun kemudian melangkah semakin maju sedang Temunggulpun segera mempersiapkan dirinya menghadapi setiap kemungkinan.

Karena Temunggul pun telah bersiap, maka kawan-kawannya yang seorang pun bersiap pula.

Meskipun demikian, Temunggul dan kawannya tetap menyadari bahwa mereka harus melawan orang-orang yang selama ini mereka takuti. Mereka merasa pula, bahwa mereka tidak cukup mampu untuk berkelahi melawan mereka. Apalagi berempat, sedang seorang lawan seorang pun mereka pasti akan mengalami kesulitan. Namun mereka pun tidak akan dapat membiarkan Wanda Geni berbuat semena-mena dengan melarikan gadis-gadis. Bagaimanapun juga mereka harus mencoba mempertahankannya. Apalagi gadis itu bernama Ratri.

Karena ketiga kawan-kawannya masih belum berbuat sesuatu, Wanda Geni pun segera membentak, “Cepat, apakah kalian menunggu pagi?”

Ketiga orang itu berpaling sejenak. Kemudian maju lagi selangkah.

Temunggul dan kawannya segera mendekatkan diri masing-masing. Mereka berusaha bertempur berpasangan. Namun sayang, bahwa mereka sama sekali tidak membawa senjata apapun, karena mereka sama sekali tidak bersiap untuk berkelahi. Mereka datang ke Kademangan untuk menyelenggarakan keramaian. Hanya para pengawal yang bertugas khususlah yang membawa senjata mereka.

Dengan demikian, maka diam-diam mereka mengharap mudah-mudahan ada di antara kawan-kawan mereka yang sedang meronda lewat jalan ini pula. Namun yang masih menjadi pertanyaan mereka, apakah kawan-kawan mereka itu pun berani ikut bertindak menghadapi ketiga orang-orang itu ditambah dengan seorang Wanda Geni?

Sejenak Temunggul masih sempat melihat halaman yang terbentang di sebelah menyebelah jalan itu. Pintu-pintu regol telah tertutup dan rumah-rumah yang tampak diseberang dinding-dinding batu telah menjadi suram. Seandainya orang-orang yang tinggal di dalam rumah itu terbangun, dan mereka mendengar perkelahian yang ribut, mereka pasti tidak akan berani berbuat apa-apa apabila mereka tahu, bahwa yang ada di tempat itu adalah Wanda Geni dan ketiga kawan-kawannya pengikut Panembahan Sekar Jagat.

Tetapi Temunggul dan kawannya tidak mendapat waktu lagi. Seorang dari antara ketiga orang lawannya telah mulai menyerang. Sebuah ayunan tangan yang cepat, mengarah ke kening Temunggul. Namun Temunggul pun telah bersiap pula. Dengan sigapnya ia menghindari serangan itu.

Namun Temunggul terkejut. Orang itu tidak menyerangnya lagi, tetapi terdengar ia tertawa pendek, “Bagus,” katanya “Begitulah pesan gurumu?”

Temunggul tidak menjawab, tetapi terdengar giginya gemeretak. Sementara ketiga gadis yang berjalan bersamanya menjadi ketakutan dan saling berpelukan dengan tangan gemetar.

“Jangan takut,” berkata Wanda Geni. Namun suaranya itu justru membuat ketiganya hampir pingsan.

Orang yang menyerang Temunggul itu telah bersiap untuk menyerang lagi. Namun suara tertawanya masih terdengar sepotong-sepotong seolah-olah ia tidak berkelahi bersungguh-sungguh.

“Aku tidak sempat melihat kalian bermain-main,” berkata Wanda Geni. “Cepat selesaikan. Dan segera kita bawa gadis-gadis ini kembali ke padepokan.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Salah seorang dari mereka menjawab, “Baiklah. Aku pun sedang lesu untuk bermain-main di malam yang dingin ini.”

Maka sejenak kemudian ketiganya pun telah maju mendekati Temunggul dan kawannya. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian maka mereka pun segera mulai dengan serangan-serangan mereka.

Temunggul dan kawannya menyambut serangan-serangan itu dengan sepenuh kemampuan mereka. Serangan-serangan itupun mereka elakkan satu demi satu. Bahkan Temunggul yang dibakar oleh kecemasannya, bahwa Ratri akan dibawa oleh iblis-iblis itu, telah mulai membalas serangan-serangan itu dengan serangan-serangan pula.

Ratri dan kawan-kawannya menjadi semakin ketakutan. Mereka berpelukan dan berdesak-desakan. Sejenak kemudian mereka telah berdiri melekat pagar batu di pinggir jalan. Mulut-mulut mereka serasa terkunci, dan bahkan darah mereka pun serasa telah berhenti mengalir.

Sementara itu Temunggul dan seorang kawannya masih berkelahi terus. Bahkan Temunggul dan kawannya itu merasa heran terhadap kemampuan mereka sendiri. Ternyata mereka tidak segera terpukul jatuh dan apalagi di lumpuhkan. Mereka masih juga mampu menghindar dan melawan.

Ketiga orang-orang Wanda Geni itupun menjadi heran. Ternyata anak-anak yang menjadi pengawal Kademangan inipun mampu juga berkelahi. Karena itu, maka mereka semakin lama menjadi semakin bersungguh-sungguh. Serangan-serangan merekapun menjadi semakin cepat dan berbahaya.

Namun, Temunggul dan kawannya yang seorang itu, seolah-olah mendapat tenaga-tenaga yang ajaib. Selama ini mereka tidak pernah mempergunakan kemampuan mereka untuk bertempur mempergunakan kemampuan mereka segani itu. Ketika mereka tersudut dan terpaksa berkelahi, mereka menjadi heran sendiri, bahwa mereka mampu melakukannya.

Tenaga mereka tidak terduga sama sekali, bahwa berkekuatan yang luar biasa

Serangan-serangan ketiga orang yang mampu mereka hindari dan bahkan mereka imbangi dengan serangan-serangan pula, telah membuat hati mereka semakin mekar. Ternyata orang-orang Panembahan Sekar Jagat bukanlah hantu-hantu yang tidak terlawan. Dan kini mereka menghayati perlawanan itu.

Wanda Geni yang melihat perkelahian itu berjalan semakin sengit, menjadi semakin tidak sabar, sekali lagi ia berteriak nyaring, “Cepat. Apalagi yang kalian tunggu?”

Ketiga kawannya yang mendengar suara Wanda Geni itupun menggeretakkan gigi mereka. Mereka kemudian semakin mempercepat serangan-serangannya, susul menyusul berurutan.

Dengan demikian, bagaimanapun juga kemampuan yang ada pada Temunggul dan kawannya yang hanya seorang itu, namun akhirnya mereka menjadi semakin terdesak pula. Mereka harus melawan orang-orang yang sudah jauh lebih banyak menyimpan pengalaman di dalam diri mereka. Apalagi mereka berdua harus menghadapi tiga orang sekaligus, sehingga semakin lama menjadi semakin nyata, bahwa mereka akan dapat dikalahkan.

“Persetan,” tiba-tiba Wanda Geni menggeram. “Kalian berkelahi seperti perempuan cengeng. Kenapa kalian ragu-ragu. Kalau anak-anak itu tidak mau mendengar peringatanmu, maka bukan salah kalianlah apabila mereka terbunuh. Nah, lakukanlah apa saja yang pantas kalian lakukan. Aku sudah tidak sabar lagi. Aku akan membawa Ratri lebih dahulu. Kalau kedua anak-anak gila itu sudah kalian selesaikan, susullah aku dan bawalah yang dua orang itu apabila kalian menghendaki.”

“Sebentar lagi pekerjaan kami akan selesai,” desis salah seorang dari mereka yang sedang berkelahi melawan Temunggul.

“Terserah,” jawab Wanda Geni acuh tak acuh, “Aku akan mendahului.”

Kawan-kawannya tidak menjawab lagi, tetapi tandang merekalah yang menjadi semakin cepat, sehingga Temunggul dan kawannya pun menjadi semakin sulit untuk bertahan. Mereka terdorong mundur dan semakin mundur, sehingga jarak mereka semakin jauh dari ketiga gadis-gadis yang mereka antar dan kini sedang mereka pertahankan itu.

Dada Temunggul menjadi semakin berdebar-debar ketika sekilas ia melihat Wanda Geni melangkah mendekati Ratri. Sejenak kemudian ia mendengar Ratri terpekik.

Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Serangan-serangan lawannya justru menjadi semakin dahsyat. Sekali-kali terasa tubuhnya tersentuh tangan lawan-lawannya. Bahkan kadang-kadang dagunya atau pelipisnya, sehingga membuatnya beberapa kali terhuyung-huyung surut dan nyaris jatuh terlentang.

Tetapi ketika ia sempat melihat Ratri sekilas, ternyata Wanda Geni masih berdiri beberapa langkah daripadanya. Ketika Wanda Geni maju lagi setapak, maka Ratri itu pun terpekik sekali lagi.

“Apakah kau berusaha untuk mendapat pertolongan dari seseorang?” bertanya Wanda Geni. “Tidak seorang pun yang berani melawan selain kawanmu yang gila itu. Namun ia harus menebus kegilaannya itu terlampau mahal. Bahkan mungkin dengan nyawanya. Karena itu, tidak ada gunanya kau berteriak-teriak. Seluruh Kademangan, termasuk Ki Demang dan Ki Jagabaya pun tidak akan berani berbuat apa-apa. Apalagi orang-orang lain.

Ratri memeluk kedua kawannya semakin erat. Semakin dekat Wanda Geni kepadanya, semakin erat ia berpegangan. Nafasnya menjadi terengah-engah dan jantungnya serasa akan meledak.

Jantungnya berdebar-debar. Gejolak hatinya luar biasa. Terbayang di dalam kepalanya, apakah yang kira-kira akan terjadi atas dirinya, apabila ia jatuh ke tangan Wanda Geni. Sedang menurut perhitungannya Temunggul dan kawannya pasti tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Meskipun sebelum terjadi peristiwa itu, Ratri sama sekali kurang menaruh perhatian terhadap Temunggul, meskipun Temunggul selalu berusaha mendekatinya, namun apabila ia harus memilih di antara mereka, Temunggul dan orang yang bernama Wanda Geni maka dengan ikhlas ia akan menyerahkan hatinya kepada anak muda, pemimpin anggota pengawal Kademangannya

Tetapi apakah anak muda itu mampu berbuat demikian, melepaskan dirinya dari tangan Wanda Geni?

Apalagi ketika ternyata Temunggul dan kawannya itu menjadi semakin terdesak. Mereka menjadi semakin jauh dan tidak mungkin untuk menolongnya kembali.

Sekali-sekali Ratri mendengar orang-orang yang berkelahi melawan Temunggul itu tertawa, seolah-olah mereka sedang bermain-main dengan riangnya.

“Pergilah dan bawalah gadis yang seorang itu,” terdengar salah seorang dari ketiga orang yang berkelahi melawan Temunggul itu berteriak. “Aku ingin bermain-main sebentar lagi.”

Wanda Geni berpaling sejenak. Ia pun kemudian tertawa melihat perkelahian itu. Sejenak kemudian ia melihat Temunggul terdorong beberapa langkah surut. Ketika sebuah pukulan mengenai dagunya, maka anak muda itu pun tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya lagi sehingga ia terjatuh terlentang.

Hampir bersamaan dengan itu, kawannyapun terdorong tanpa dapat mengendalikan diri, sehingga tiba-tiba saja ia telah jatuh menimpa Temunggul.

“Bangun,” berkata salah seorang dari lawan-lawan mereka, “Dan lihatlah, bagaimana gadis yang kau pertahankan itu di bawa oleh lurah kami, Ki Wanda Geni.”

Temunggul menggeram. Didorongnya kawannya, dan dengan sisa-sisa tenaganya ia meloncat berdiri.

“Nah, agaknya kau memang ingin melihat,” kemudian kepada Wanda Geni ia berkata, “Silakan. Bawa gadis yang kau kehendaki itu.”

Wanda Geni tertawa. Ia masih melihat kawan Temunggul berdiri tertatih-tatih.

“Baiklah. Aku akan mendahului kalian,” gumam Wanda Geni itu. Kemudian ia berpaling kepada Ratri sambil berkata, “Kau tidak akan mendapat kesempatan untuk menolak nasib yang akan terjadi atas dirimu. Kalau kau tidak ikhlas mengalami perlakuan ini, maka kau telah terjerat oleh kecantikanmu sendiri ke dalam keadan yang tidak kau kehendaki, seperti ceritera tentang seekor rusa yang mengagumi kecantikan tanduknya yang bercabang-cabang. Tetapi ketika bahaya mengancamnya, tanduknya itulah yang melemparkannya ke dalam malapetaka, karena ketika ia mencoba melarikan diri, tanduknya yang cantik itu telah terjerat pada sulur-sulur kayu. Nah, agaknya kaupun mengalami nasib seperti seekor rusa yang cantik.”

Ratri menjadi semakin gemetar. Seolah-olah ia sudah tidak mampu lagi berdiri pada sepasang kakinya. Dengan lemahnya ia bersandar pada dinding halaman di pinggir jalan itu. Di pandanginya Temunggul yang berdiri kaku di tempatnya dengan sepasang matanya yang membayangkan keputus-asaan.

Temunggul tidak dapat melihat mata itu di dalam gelap. Tetapi ia tidak dapat merasakan, bahwa gadis itu pasti dicengkam oleh ketakutan dan kengerian yang tidak dapat digambarkannya.

Nampak ia sendiri sudah tidak mampu berbuat apa-apa. Ia menjadi terlampau lemah dan ia sendiri telah menjadi berputus asa.

Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Wanda Geni. Tiba-tiba saja dengan lantang ia berkata, “He, siapakah yang mengintip itu. Aku melihat kepala tersembunyi dari balik dinding. Kalau kau penghuni rumah sebelah, keluarlah. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku beri kau kesempatan untuk melaporkan peristiwa ini ke Kademangan. Aku ingin melihat apakah yang akan dilakukan terhadap kami.”

Tetapi tidak ada jawaban. Dan dengan demikian Wanda Geni melangkah semakin dekat kepada Ratri. “Aku sudah tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Marilah, Kau dapat memilih. Apakah kau akan menurut atau aku harus membuatmu pingsan dahulu.”

Ratri telah benar-benar tidak mampu lagi untuk berdiri meskipun bersandar dinding halaman. Tiba-tiba ia menjadi demikian lemahnya sehingga tangannya sajalah yang mencoba menahannya untuk berdiri. Tetapi kedua kawannya yang lainpun telah menjadi sedemikian takutnya, sehingga akhirnya mereka bertiga terduduk di tanah, seakan-akan semua tulang-tulang mereka telah terlepas dari tubuhnya.

Wanda Geni mengerutkan keningnya melihat hal itu. Sejenak ia tertegun, namun sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah, aku harus mendukungmu.”

Tetapi ketika Wanda Geni itu baru maju selangkah lagi, dan ketika Wanda Geni baru mengulurkan tangannya untuk menarik lengan Ratri yang masih berpegangan kepada kawannya, tiba-tiba udara malam yang dingin itu telah digetarkan oleh suara tertawa. Suara yang lain dari suara Wanda Geni dan ketiga teman-temannya.

“Kau memang benar-benar seorang laki-laki jantan Wanda Geni,” terdengar suara di antara sela-sela tertawanya.

Serentak mereka yang mendengar suara itu berpaling. Mereka melihat bayangan yang kehitam-hitaman di dalam kesuraman malam, bertengger di atas dinding halaman di tepi jalan itu.

Dada Wanda Geni serasa menjadi retak melihat dan mendengar orang itu tertawa. Dengan suara parau ia bertanya, “Siapa kau?”

“Hem, apakah kau perlu mengetahui siapa aku?”

“Sebut namamu. Apakah kau juga orang Kademangan ini?”

“Huh,” orang itu menyahut. “Tidak ada seorang pun dari Kademangan ini yang berani bersikap jantan, He, apakah kau pernah menemui perlawanan sedikitpun di Kademangan ini,” suara orang itu melengking dengan nada yang semakin tinggi.

“Kalau kau kali ini menemui perlawanan, adalah karena kegilaan laki-laki yang bernama Temunggul itu terhadap gadis yang akan kau bawa dan bernama Ratri itu. Apakah kau dapat mengerti? Bukan karena harga diri mereka sebagai pengawal-pengawal Kademangan yang perkasa. Meskpun dua orang anggota mereka yang baru, ternyata dapat membunuh dua ekor harimau, tetapi mereka tidak berani mempertahankan hak mereka, apabila kau datang.”

“Aku tidak ingin mendengar sesorahmu. Sebut siapa namamu dan darimana kau datang?”

“Wanda Geni,” berkata bayangan itu. “Aku adalah seorang utusan dari Resi Panji Sekar, tetapi jangan salah, Panji Sekar adalah nama seorang Resi yang sakti yang tinggal di padepokannya di daerah Pliridan, sama sekali bukan nama dapur keris eluk sanga. Meskipun Resi Panji Sekar memiliki sebuah pusaka keris eluk sembilan dapur Panji Sekar.”

“Persetan dengan keris eluk sanga. Tetapi apa maksudmu datang kemari?” potong Wanda Geni.

“Seperti kau,” jawab bayangan hitam itu. “Aku mempunyai tugas untuk mengambil kekayaan yang ada di Kademangan ini seluruhnya yang masih tersisa. Aku memang ditugaskan untuk menemuimu dan minta agar kau menghentikan kegiatanmu di Kademangan ini. Kau sudah cukup lama melakukannya. Agaknya telah sampai waktunya untuk memberikan giliran kepadaku atas nama Resi Paji Sekar di Pliridan.”

“Setan alas,” Wanda Geni mengumpat. “Apakah kau belum mengenal aku?”

“Ya, aku kenal kau. Namamu Wanda Geni. Kau adalah utusan dari Panembahan Sekar Jagat. Bu-kankah begitu? Karena itu sebaiknya kau menghadap Panembahan Sekar Jagat dan menyampaikan salam Resi Paji Sekar. Kemudian minta keikhlasan Panembahan Sekar Jagat untuk mengalihkan daerah perampasannya dari Kademangan ini.

“Cukup, cukup. Aku tidak mau mendengar kau mengigau lagi. Sebaiknya kau pergi dan kembali kepada Resi yang gila itu. Katakan, bahwa mimpinya itu akan menyeretnya ke dalam kesulitan. Sekarang, pergilah, aku mempunyai pekerjaan yang penting kali ini. Dan kali ini aku sama sekali tidak sedang mengambil kekayaan apapun di Kademangan ini.”

“O,” suara orang itu menjadi semakin meninggi. “Kau keliru Wanda Geni. Kecantikan adalah kekayaan yang tiada tara harganya. Bukan begitu? Karena itu, sebaiknya kau pergi menghadap Panembahan Sekar Jagat. Sampaikan pesan Resi Panji Sekar. Aku kira Panembahan Sekar Jagat adalah seseorang yang cukup bijaksana. Jauh lebih bijaksana daripada kau sendiri.”

“Cukup,” teriak Wanda Geni. “Pergilah. Atau kau mau mati?”

“Kedua-duanya aku tidak ingin. Mati tidak, pergipun tidak.”

Wanda Geni menggeram. “Siapakah namamu?”

“Putut Sabuk Tampar. Juga nama dapur keris eluk sanga.”

“Persetan dengan keris eluk sanga. Aku tidak peduli. Jangan kau sebut-sebut lagi. Sekarang pergilah. Pergilah.”

“Tidak. Aku tidak mau pergi.”

Wanda Geni sudah tidak dapat menahan diri lagi. Giginya terdengar gemeretak. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang masih saja duduk di atas dinding itu. “Aku terpaksa membunuhmu.”

Orang itu tertawa, Dan tiba-tiba saja ia berdiri. Dikembangkannya tangannya seperti hendak terbang. Dan sesaat kemudian ia meloncat langsung menyerang Wanda Geni yang mendekatinya.

Wanda Geni mengelakkan serangan itu. Sebagai seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat, ia memiliki bekal dan pengalaman yang cukup untuk bertempur melawan siapapun juga. Dan kini, dengan penuh kemarahan ia berkelahi melawan seseorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.

Ternyata orang yang menyebut dirinya Sabuk Tampar itu memiliki kelincahan yang luar biasa. Ketika serangannya yang pertama dapat dielakkan, maka segera ia melenting dan mengayunkan kakinya setengah putaran.

Wanda Geni terkejut melihat sikap itu. Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka kakinya telah tersentuh kaki lawannya. Tetapi Wanda Geni berhasil meloncat dan sentuhan itu sama sekali tidak berpengaruh apapun kepadanya. Selain membakar kemarahannya yang memang telah meluap-luap.

Yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang dahsyat. Ternyata Wanda Geni yang tangguh itu kali ini dapat lawan yang lincah dan cekatan. Orang yang menyebut dirinya bernama Putut Tampar itu, meloncat-loncat seolah-olah sama sekali tidak bergerak-gerak di atas tanah. Tangannya bergerak-gerak dengan cepatnya menyambar lawannya dari segala arah, seperti puluhan burung sikatan yang menari-nari mengitarinya.

Tetapi Wanda Geni cukup mampu mempertahankan dirinya. Dengan kekuatannya yang luar biasa ia selalu berusaha menangkis setiap serangan. Ia sama sekali tidak berusaha menghindari benturan-benturan yang terjadi, karena ia merasa bahwa ia memiliki tenaga sekuat tenaga raksasa.

Namun kali ini ternyata lawannya pun memiliki kekuatan yang luar biasa. Selain kelincahannya yang nggegirisi, kekuatannyapun mengejutkan pula, sehingga setiap benturan telah membuat Wanda Geni menyeringai.

Sementara itu, Temunggul dan kawannya seolah-olah berdiri membeku melihat perkelahian yang tidak disangka-sangkanya itu. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa persoalan itu akan berkembang dengan hadirnya orang baru yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar dari Pliridan utusan Resi Panji Sekar.

Dalam keremangan malam mereka melihat Putut Sabuk Tampar bertempur dengan lincahnya. Kadang-kadang geraknya sama sekali tidak dapat mereka ikuti. Terlampau cepat dan membingungkan.

Namun agaknya bukan saja Temunggul dan kawan-kawannya yang kadang menjadi bingung. Ketiga kawan Wanda Geni itu pun memandang pertempuran itu dengan mulut ternganga.

Sekali-kali mereka mendengar Wanda Geni mengumpat, kemudian menggeram dan bahkan kadang-kadang orang itu berteriak. Sedang lawannya masih juga sempat tertawa.

“Apakah kau tetap pada pendirianmu?” tiba-tiba terdengar suara Putut Sabuk Tampar.

“Persetan,” sahut Wanda Geni yang kini telah memegang sebilah parang ditangannya. “Kau harus mati karena pokalmu itu, maka kepalamu akan aku tanjir di gerbang Kademangan ini, supaya setiap orang yang menjadi utusan orang yang kau sebut bernama Resi Panji Sekar, dapat melihat bahwa nasib merekapun akan serupa dengan nasibmu itu.”

Perkelahian itupun menjadi semakin lama semakin sengit. Meskipun Wanda Geni telah mempergunakan senjata, namun ia sama sekali tidak mampu menguasai lawannya yang bertempur dengan lincahnya. Ayunan senjata Wanda Geni yang berdesing-desing seperti suara ribuan lebah itu, sama sekali tidak dapat menyentuh kulitnya, bahkan pakaiannya yang hitam.

Temunggul dan kawannya masih saja membeku di tempat mereka. Juga ketiga gadis-gadis yang terduduk itupun sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka. Betapa ketakutan telah menguasai jantung mereka, sehingga mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan.

Temunggul yang berdiri tegak itu, masih juga berusaha melihat wajah orang yang baru itu, yang menyebut dirinya berasal dari Pliridan dan bernama Putut Sabuk Tampar. Tetapi dalam keremangan malam, wajah itu seolah-olah hanya sebuah bulatan yang hitam. Bahkan putih matanya pun tidak tampak olehnya.

Ketika terpandang oleh Temunggul wajah Wanda Geni, betapapun samarnya, namun ia masih dapat melihat lekuk-lekuk yang jelas dan bahkan ia masih dapat melihat kumis yang melintang di atas mulutnya.

“Wajah orang itu pasti sengaja dibuat menjadi semakin samar di dalam gelapnya malam,” berkata Temunggul di dalam hatinya.

Tetapi Temunggul tidak begitu berkepentingan dengan wajah itu. Yang lebih penting baginya adalah menghadapi persoalannya yang persoalan Ratri.

“Apakah maksud orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu sesungguhnya?” pertanyaan itu melingkar-lingkar di dalam hatinya.

Ketika ia memperhatikan perkelahian itu, maka kini semakin tampak bahwa Wanda Geni menjadi semakin terdesak meskipun ia bersenjata. Sekali-kali ia meloncat surut. Meskipun kemudian ia maju lagi sambil memutar parangnya, namun tiba-tiba ia harus mundur dan mundur lagi.

Ketika ia berhasil mendesak Putut Sabuk Tampar sehingga orang itu tidak sempat mundur lagi karena tubuhnya telah melekat pada dinding batu di pinggir jalan itu, maka dengan sebuah teriakan nyaring Wanda Geni meloncat sambil menusukkan parangnya, ia tidak mau kehilangan kesempatan yang baik ini. Betapapun juga, seandainya Putut itu akan menangkis dengan tangannya, maka tangannyalah yang pasti akan sobek oleh senjatanya, dan bahkan mungkin tulangnya akan retak dan sebelum ia sempat berbuat banyak, maka serangan berikutnya yang akan mengakhiri pertempuran.

Temunggul yang melihat keadaan itu menjadi cemas. Kalau Putut itu terbunuh, maka ia akan menghadapi persoalan kembali. Ia akan melihat Wanda Geni membawa Ratri untuk suatu perbuatan yang paling mengerikan.

Dalam waktu yang sekejap itu ia mencoba memperbandingkan kedua pihak yang kini sedang bertempur. Wanda Geni, salah seorang kepercayaan Panembahan Sekar Jagat telah menyatakan maksudnya yang jelas. Kali ini ia akan membawa Ratri. Sedang orang yang kedua, Putut Sabuk Tampar menurut keterangannya ingin mendesak pengaruh Panembahan Sekar Jagat, dan membuat daerah ini menjadi pemerasan Resi Paji Sekar. Keduanya pasti tidak menyenangkan bagi Kademangan Candi Sari.

Tetapi aku harus memperhitungkan keadaan yang aku hadapi sekarang,” desisnya.

Namun sebelum ia sempat menemukan suatu keputusan, ia telah melihat Wanda Geni menghujamkan parangnya.

Hampir saja Temunggul terpekik seperti seorang gadis yang terkejut melihat ulat merambat dikakinya.

Namun tiba-tiba hatinya berdesir mendengar suara tertawa yang bernada tinggi itu. Ternyata tusukan parang Wanda Geni tidak mengenai sasarannya. Tusukan parang menghujam masuk ke dalam dinding di sela-sela batu-batu yang tersusun, dekat di sebelah dada Putut Sabuk Tampar. Dalam keremangan malam, dan dalam peristiwa yang berlangsung dengan cepatnya, Temunggul telah kehilangan pengamatan.

Ternyata bukan saja Temunggul yang menilai keliru dari pertempuran itu. Kawannya dan ketiga kawan Wanda Geni itupun menyangka bahwa perkelahian itu telah sampai pada akhirnya.

Dengan kemarahan yang luar biasa, Wanda Geni mencoba menarik parangnya. Namun dengan kecepatan yang tidak terduga-duga, Putut Sabuk Tampar meloncat, memukul pergelangan tangan Wanda Geni, sehingga terasa tulang-tulang di sela-sela batu-batu.

Mau tidak mau Wanda Geni harus mengakui bahwa lawannya kali ini benar-benar bukan sekadar anak-anak Candi Sari. Bukan sekadar para pengawal yang baru saja mengadakan keramaian di Kademangan. Karena itu, maka tidak ada jalan lain daripada menghancurkan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar ini bersama-sama.

Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar Wanda Geni berteriak nyaring, “He, marilah cepat-cepat kita selesaikan orang gila ini. Aku tidak mempunyai banyak waktu untuk melayaninya.”

Ketika kawan Wanda Geni itu memang sudah melihat bahwa seorang Wanda Geni tidak akan dapat menyelesaikan lawannya. Karena itu, maka tanpa di ulang lagi, merekapun berloncatan mendekati perkelahian yang menjadi bertambah sengit. Ketiganya langsung melibatkan diri mereka untuk bersama-sama menghadapi orang yang menyebut dirinya Putut Sekar Tampar.

Agaknya Putut Sabuk Tampar kini harus membuat perhitungan. Seorang lawan seorang ia memang dapat mengalahkan Wanda Geni dengan mudah. Tetapi menghadapi empat orang, ia harus mengerahkan segenap kemampuannya yang ada padanya.

Tiba-tiba saja Putut itu meloncat dan mencabut parang yang masih melekat pada dinding di pinggir jalan. Dengan parang itu ia kini bersiap menghadapi keempat lawan-lawannya.

“Berikan senjatamu,” teriak Wanda Geni kepada salah seorang kawannya.

Sebelum kawannya menjawab, Wanda Geni telah meloncat merebut senjata itu. Kini dengan sebuah golok ditangan bersama dua orang kawannya yang bersenjata golok pula, Wanda Geni menghadapi orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Sedang seorang kawannya yang lain, yang sama sekali tidak bersenjata memandangi saja perkelahian itu dengan dada berdebar-debar.

Perkelahian itu kini menjadi semakin meningkat. Mereka tidak saja saling memukul dengan tangan-tangan mereka tetapi yang terdengar disela-sela teriakan nyaring adalah dentang senjata beradu.

Perkelahian itu ternyata telah membangunkan orang-orang yang tingal sebelah menyebelah jalan. Tetapi sebagian dari mereka justru tidak berani beranjak dari pembaringan. Satu dua orang bahkan telah menimbuni pintu-pintu mereka dengan bermacam-macam barang. Dingklik-dingklik dan peti-peti kayu.

Satu dua orang yang agak memiliki keberanian, keluar dari pintu butulan dan mencoba melihat apa yang terjadi. Namun sejenak kemudian mereka pun telah masuk kembali ke dalam rumah-rumah mereka dengan tubuh yang gemetar.

Empat buah senjata saling menyambar di udara. Sekali-kali terdengar senjata-senjata itu berbenturan, dan sekali-kali tampak bunga-bunga api berloncatan.

Temunggul masih saja berdiri dengan kaki bergetar. Bukan oleh ketakutan seperti Ratri dan kedua kawannya, tetapi anak muda itu telah dicengkam oleh ketegangan yang luar biasa.

Namun tiba-tiba Temunggul itu telah disentuh oleh suatu pertimbangan, bahwa dalam keadaan serupa ini ia tidak akan dapat berdiri saja membeku. Kalau Wanda Geni dapat memenangkan perkelahian itu, maka ia akan mengalami perlakuan yang lebih buruuk lagi. Demikian juga agaknya Ratri dan kedua kawannya. Karena itu, ia harus berbuat sesuatu. Ia belum tahu pasti, apakah yang akan dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu. Namun pertimbangannya mengatakan kepadanya bahwa ia harus berpihak. Apapun yang nanti akan terjadi.

Dengan nafas yang terengah-engah Temunggul melihat seorang kawan Wanda Geni yang tidak bersenjata itu. Tiba-tiba ia telah terdorong untuk berbuat. Dengan serta merta ia meloncat tanpa ragu-ragu lagi menyerang orang yang berdiri ternganga-nganga melihat perkelahian yang dahsyat itu.

Orang itu terkejut. Hampir-hampir ia tidak sempat mengelak. Namun ternyata bahwa ia masih mampu menghindarkan dirinya dari serangan Temunggul.

Sudah tentu bahwa orang itu tidak akan tinggal diam. Kemarahannya kepada pemimpin pengawal Kademangan itu terungkat kembali. Sehingga sesaat kemudian mereka pun telah berkelahi pula dengan serunya. Kini Temunggul harus berkelahi seorang melawan seorang. Keduanya tidak bersenjata apapun juga.

Namun agaknya Temunggul yang telah menjadi terlampau lelah, tidak mampu lagi mengimbangi tenaga lawannya. Ia pun segera terdesak meskipun ia masih mampu bertahan.

Agaknya perkelahian itu telah membangunkan kawan Temunggul yang seorang. Dengan serta merta ia ikut pula berkelahi membantu Temunggul, sehingga orang itu harus melawan kedua pengawal itu bersama-sama.

Wanda Geni yang melihat Temunggul ikut pula dalam perkelahian itu menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Bunuh saja anak-anak gila yang tidak tahu diri itu. Salah seorang dari kalian dapat melakukannya dengan senjata itu. Biarlah kami berdua menghadapi Putut ini.”

Perintah itu pun tidak perlu diulangi. Salah seorang dari kedua kawannya itu pun segara meloncat surut. Namun sebelum ia berbuat sesuatu, terdengar sebuah keluhan tertahan. Kawannya yang seorang, yang masih berkelahi bersama dengan Wanda Geni, terdorong beberapa langkah suruat. Senjatanya terlepas dari tangannya. Sedangkan tangannya yang lain dengan gemetar memegangi dadanya. Sebuah luka telah merobek dada itu, sehingga darahnya mengalir tidak tertahankan lagi.

Sejenak orang itu terhuyung-huyung dan akhirnya jatuh terduduk.

“Setan alas,” Wanda Geni mengumpat-umpat. Kemudian kepada kawannya yang seorang ia berkata, “Lepaskan dahulu anak-anak itu, kita selesaikan saja orang gila yang telah mencoba mencampuri persoalan kita ini.”

Kawan Wanda Geni yang seorang, yang telah bersiap untuk membinasakan Temunggul dan kawannya, segera meloncat kembali. Ia pun menyadari, bahwa orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu jauh lebih berbahaya dari Temunggul dan kawannya itu. Karena itu, maka yang mula-mula harus dibinasakan adalah Putut yang gila itu.

Kepada seorang kawannya yang berkelahi melawan Temunggul Wanda Geni berkata, “Tahankanlah sebentar. Kami akan segera membinasakan Putut ini. Kemudian datang giliran kedua anak-anak Candi Sari yang malang itu.”

Wanda Genipun kemudian berkelahi dengan sepenuh kemampuannya. Kawannya yang tinggal seorang itu pun telah memeras tenaganya. Keduanya mencoba untuk menyerang Putut Sabuk Tampar dari arah yang berbeda-beda. Namun ternyata Putut itu tidak menjadi bingung. Dengan tanang ia melayani kedua lawannya. Bahkan setiap kali ia berusaha untuk melihat perkelahian antara Temunggul dengan kawannya, melawan seorang kawan dari Wanda Geni. Namun perkelahian itu sama sekali tidak mencemaskannya, karena kawan Wanda Geni yang seorang itu, yang harus berkelahi melawan dua orang pengawal Kademangan, menjadi terdesak pula, meskipun ia masih tetap mampu untuk bertahan.

Dalam keadaan yang demikian itulah Putut Sabuk Tampar berusaha menentukan akhir dari pertempuran mereka. Dengan garangnya ia mempercepat serangan-serangannya. Bahkan kemudian seolah-olah sudah tidak terlawan lagi oleh Wanda Geni dan kawannya yang seorang itu.

Akhirnya ketika sudah tidak berpengaruh lagi untuk memenangkan perkelahian itu, Wanda Geni terpaksa mengambil sikap. Baginya lebih baik untuk tetap hidup daripada mati terbunuh. Hidup baginya berarti masih terbuka bermacam-macam kemungkinan. Tetapi apabila ia terbunuh, maka semuanya akan segera terhenti.

Dengan demikian maka akhirnya ia mengambil kesimpulan untuk meninggalkan perkelahian. Betapapun kecewanya, ia terpaksa melepaskan keinginannya untuk membawa Ratri kali ini. Tetapi dengan demikian ia justru mendendam. Keinginannya untuk membawa gadis itu justru semakin mencengkam dadanya.

“Awas kalau lain kali,” ia menggeram di dalam hatinya, “Kali ini kebetulan Putut gila ini ikut mencampuri persoalan kita. Tetapi suatu ketika, aku pasti akan membawamu. Dan nasibmu akan menjadi lebih jelek lagi daripada nasibmu kini, seandainya kau tidak terlampau banyak ribut.”

Keputusan itu agaknya yang telah diambil oleh Wanda Geni. Karena apapun yang akan dilakukannya, sudah pasti bahwa ia bersama kawannya itu, tidak akan dapat mengalahkan lawannya. Sedang yang seorang lagi, yang berkelahi melawan Temunggulpun, sudah dapat diperhitungkannya pula, bahwa orang itupun tidak akan dapat menang.

Karena itu, maka sejenak kemudian terdengarlah sebuah suitan nyaring dari mulut Wanda Geni. Dan setiap orang yang mendengar suitan itupun segera mengerti maksudnya. Mereka pasti akan segera meninggalkan medan.

Dugaan itu sama sekali tidak salah. Sejenak kemudian Wanda Geni pun segera meloncat surut, disusul oleh kedua kawannya hampir bersamaan, meskipun keduanya berkelahi di arena yang berbeda.

Sejenak kemudian, maka ketiganya segera berlari sekencang-kencang dapat mereka lakukan tanpa menghiraukan kawannya yang seorang yang sudah terluka itu.

Melihat ketiga kawannya berlari, maka orang yang terluka itupun mencoba untuk mengikuti mereka. Tetapi ketika ia tertatih-tatih berdiri, maka iapun segera terjatuh lagi.

Temunggul dan kawannya berdiri termangu-mangu. Semula mereka akan mengejar lawannya yang seorang. Tetapi karena mereka melihat orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu tidak beranjak dari tempatnya, maka niat mereka pun di urungkannya. Mereka pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa meskipun seandainya mereka berhasil menyusul ketiga orang yang berlari itu tanpa bantuan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.

“Kau tidak usah lari,” terdengar suara Putut itu melengking, “Kau tidak akan dibunuh, asal kau benar-benar menyadari segala macam kesalahanmu. Kau akan dibiarkan hidup, tetapi kau harus bersedia memberikan setiap keterangan yang diperlukan.”

Orang itu tidak menjawab.

“Kenapa kau diam saja?” bentak orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.

Orang itu masih belum menjawab.

“Bagaimana? Kalau kau tidak bersedia memberikan keterangan apapun tentang Panembahan Sekar Jagat, buat apa kau tetap hidup?”

Masih belum ada jawaban.

Orang yang menyebut dirinya bernama Putut Sabuk Tampar itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalau begitu baiklah. Kau memang tidak pantas dikasihani. Mungkin memang lebih baik mati bagimu. Tetapi kami sama sekali tidak ingin membunuhmu. Matilah kau karena kau tidak akan dapat bangkit dan meninggalkan tempat itu. Aku akan berpesan, setiap orang yang lewat besok pagi tidak boleh menyentuhmu sebelum kau benar-benar mati. Baru setelah kau mati, kau akan dikuburkan. Sebelumnya kau akan menjadi tontonan anak-anak, bahwa salah seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat ternyata dapat juga terluka dan bahkan mati.”

“Persetan,” tiba-tiba orang itu menggeram. “Kalau benar-benar kau lakukan itu, berarti Kademangan ini akan kedatangan bencana yang maha besar. Tentu Panembahan Sekar Jagat tidak akan tinggal diam.

Putut Sabuk Tampar mengerutkan keningnya, sedang Temunggul dan kawanya saling berpandangan sesaat.

Namun kemudian terdengar suara tertata Putut Sabuk Tampar dalam nada yang tinggi, “Kau memang senang berbicara yang aneh-aneh. Mati atau tidak mati, Wanda Geni pasti sudah akan banyak berceritera. Tentang kau yang terluka, tentang gadis-gadis yang cantik itu, dan tentang pengawal Kademangan yang sama sekali tidak berani berbuat sesuatu kalau tidak terpaksa oleh kepentingan pribadi. Sudah tentu Panembahan Sekar Jagat tidak akan marah kepada orang-orang Kademangan ini, sebab orang-orang di Kademangan ini adalah orang-orang yang baik hati, yang dengan suka rela menyerahkan apa saja yang diperlukan oleh Panembahan Sekar Jagat. Dan kebaikan hati itu pulalah yang mendorong aku datang ke tempat ini, untuk menggeser pengaruh Panembahan Sekar Jagat atas nama Resi panji Sekar.” Putut itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, kau lihat, apakah anak muda yang bernama Temunggul ini berani berbuat sesuatu, kalau ia tidak terdorong oleh pamrih pribadinya, karena ia tidak mau kehilangan Ratri?”

Dada Temunggul berdesir mendengar sindiran itu. Dan Putut itu berbicara terus, kali ini kepada Temunggul, “Apakah kau akan ingkar?”

Temunggul tidak segera dapat menjawab.

“Sekarang, tolonglah gadis-gadis itu dan antarlah mereka segera pulang. Ayah dan ibu mereka pasti telah menunggu.

Temunggul menggigit bibirnya. Sejenak ia membeku ditempatnya.

“Kenapa kau termenung? Bukankah kau telah menyerahkan hidup matimu untuk keselamatanmu? Bukan untuk keselamatan Kademanganmu?” Putut itu berhenti sejenak. “Kau tidak usah ingkar. Kalau kau benar-benar berbuat untuk Kademangan ini, maka kau pasti sudah membuat sesuatu sejak Kademangan ini dijamah oleh Panembahan yang rakus itu. Ternyata kalian sama sekali tidak berbuat apa-apa. Nah, lain kali kamilah yang akan datang Utusan Resi Panji Sekar. Aku akan datang dengan beberapa orang kawanku. Dan aku mengharap suatu ketika aku akan bertemu lagi dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat.”

Temunggul masih saja membisu, tetapi debar jantungnya serasa menjadi kian cepat.

“Kenapa kau diam saja?” bertanya Putut itu. “Cepat, antarkan gadis-gadis itu pulang ke rumah masing-masing. Aku tidak memerlukannya. Yang aku perlukan adalah emas dan permata, yang pada saatnya akan aku ambil. Sekarang, cepat pergi. Temunggul mengantarkan gadis-gadis itu, dan yang seorang membawa orang ini ke Kademangan. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Lukanya agak parah, dan aku akan mengamat-amatimu. Kalau kalian takut akan Panembahan Panji Sekar perlakukan orang itu dengan baik. Meskipun perlakuan yang demikian tidak kau berikan kepada orang-orangmu sendiri.”

Temunggul masih juga belum menjawab.

“Cepat,” tiba-tiba Putut itu berteriak dengan suaranya yang tinggi melengking. “Aku akan dapat merubah pendirianku setiap saat. Aku dapat dengan tiba-tiba dirangsang oleh nafsu seperti Wanda Geni apabila aku memandang wajah gadis-gadis itu.”

Dada Temunggul seakan-akan tersentak mendengar kata-kata Putut itu, sehingga kemudian ia berpaling, memandangi gadis-gadis yang masih terduduk lemah di tanah.

“Ayo, bawalah mereka ke rumah masing-masing.”

Temunggul menganggukkan kepalanya. “Baiklah.”

“Hati-hati, meskipun Wanda Geni telah semakin jauh.”

Temunggul tidak menjawab. Perlahan-lahan ia mendekati ketiga gadis-gadis itu sambil berkata, “Marilah aku antar kalian pulang.”

Sejenak gadis itu tidak beranjak dari tempatnya. Mereka hanya saling berpandangan dengan sorot mata yang masih saja dibayangi oleh ketakutan.

“Marilah,” desis Temunggul yang menjadi cemas, kalau tiba-tiba saja Putut Sabuk Tampar itu berubah pendiriannya. Dan jantungnya serasa akan pecah ketika ia mendengar Putut itu berkata, “Ratri memang cantik.”

“Cepat,” desis Temunggul perlahan-lahan.

Ratri pun segera menyadari keadaannya. Karena itu meskipun kakinya masih gemetar, dipaksanya dirinya untuk berdiri bersama-sama kedua kawannya.

“Ayo cepat. Aku sudah mulai dihinggapi penyakit gila yang menjalar dari darah Wanda Geni. Cepat pergi,” Putut itu menggeram.

Temunggul menjadi semakin cemas. Ia pasti tidak akan dapat berbuat apa-apa untuk melawan Putut itu, seandainya Putut itu pun menjadi gila seperti Wanda Geni.

“Marilah,” sekali lagi Temunggul berdesis.

Ratri dan kawan-kawannya berusaha untuk tetap berdiri. Tertatih-tatih mereka berjalan sambil berpegangan satu dengan yang lain dengan eratnya.

“Gadis itu jangan kau tinggal lari meskipun kau akan bertemu lagi dengan Wanda Geni, Temunggul,” terdengar Putut itu tertawa. “Bagaimana kalau aku berbuat serupa yang kau lakukan itu, bukan sekadar untuk seorang gadis yang bernama Ratri? Tetapi untuk Kademanganmu?”

Temunggul tidak menjawab, bahkan berpalingpun tidak. Dengan suara yang bergetar ia berbisik, “Cepat. Cepatlah sedikit. Orang itu agaknya tidak kalah gila dari Wanda Geni.”

Ratri dan kedua kawannya pun memaksa diri mereka berjalan lebih cepat lagi, untuk segera menjauhi orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.

Namun dada mereka masih juga selalu berdebar-debar apabila mereka kemudian mendengar orang itu tertawa berkepanjangan.

“Kita singgah saja di rumah terdekat,” berkata Temunggul. “Aku antar kalian besok pagi-pagi.”

“Tidak,” Ratrilah yang menjawab, meskipun suaranya hampir tidak terdengar. “Aku akan dicekik ayah, kalau aku tidak pulang malam ini.”

“Tetapi kalian berada dalam bahaya,” sahut Temunggul. “Diperjalanan, kita akan mungkin sekali bertemu lagi dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu.”

Terasa tengkuk gadis-gadis itu meremang. Tetapi mereka lebih senang apabila mereka segera dapat kumpul di antara keluarga mereka. Apalagi Ratri telah mendapat pesan dari ayahnya, bahwa ia harus segera pulang setelah pertunjukan selesai.

“Tetapi orang-orang yang mengerikan itu?” ingatan itu pun setiap kali selalu mengganggunya.

“Bagaimana Ratri,” bertanya Temunggul kemudian.

“Aku akan pulang,” jawab Ratri, “Rumahku sudah dekat.”

“Tetapi sangat berbahaya?”

“Dimana pun bahaya itu akan datang. Kalau aku bermalam di rumah siapapun, orang-orang itu dapat juga mencariku. Karena itu aku merasa lebih aman tinggal bersama ayah dan ibu. Kecuali kalau nanti ayah mengambil keputusan lain.”

Temunggul mengerutkan keningnya. Kemudian ia bergumam, “Baiklah. Aku akan mengantarmu sampai ke rumah. Rumahmu memang sudah dekat. Tetapi kita masih harus mengantarkan kedua kawan-kawanmu itu.”

“Tetapi rumahku lebih dekat.”

“Tidak,” sahut Temunggul. “Kita lewat jalan kecil ini. Aku merasa bahwa jalan ini jauh lebih aman dari jalan yang lebih besar.”

Ratri tidak membantah lagi. Kalau ia memaksa untuk di antar lebih dahulu, maka pasti akan menyinggung perasaan kedua kawan-kawannya, meskipun rumah mereka seolah-olah hanya terpisah oleh dinding batu.

Demikianlah maka mereka menyusuri jalan sempit yang menuju ke rumah ketiga gadis-gadis itu. Tetapi dengan demikian, maka yang terakhir dari ketiganya sampai di muka regol rumahnya adalah Ratri.

“Terima kasih Temunggul,” desis Ratri ketika ia akan memasuki regol halamannya.

“Aku antar kau sampai ke pendapa Ratri, sampai ayahmu membuka pintu untukmu.”

Ratri menjadi ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia menjawab, “Baiklah Temunggul, aku sangat berterima kasih dan ayahpun akan berterima kasih pula.”

Tetapi ketika Ratri akan melangkah memasuki regol rumahnya Temunggul berkata lambat sekali, seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Ratri.”

Ratri tertegun. Ketika dilihatnya wajah Temunggul menunduk maka dada gadis itu pun berdesir.

“Sebelum aku menyerahkanmu kepada ayahmu, aku ingin berbicara, Ratri.”

Dada Ratri menjadi berdebar-debar. Ia sudah dapat menduga, apa yang kira-kira akan dikatakan oleh Temunggul itu, maka wajahnya segera menjadi kemerah-merahan, dan dadanya menjadi pepat.

“Apakah kau ingin mendengarkan Ratri?” bertanya Temunggul.

Ratri menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Temunggul, aku sudah tidak dapat menahan rasa takut dan cemas. Kalau setiap saat orang-orang yang mengerikan itu lewat di jalan ini maka nasibku akan dapat kau bayangkan.”

“Tidak Ratri. Orang itu tidak akan lewat jalan ini. Apalagi ia sudah dikalahkan oleh orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.”

“Tetapi bagaimanakah kalau Putut itulah yang justru menyusul kita?”

Temunggul terdiam sejenak. Namun hasratnya untuk mengucapkan kata hatinya sudah tidak dapat ditahankannya lagi, sehingga karena itu ia menjawab. “Putut itu tidak akan datang kemari pula. Ia tidak memerlukan kau Ratri. Tetapi ia memerlukan harta dan benda-benda berharga.”

“Demikian juga orang-orang Panembahan Sekar Jagat pada mulanya.”

“Tetapi, aku melihat beberapa perbedaan dari kedua golongan itu.”

“Tetapi kau sendiri baru saja mencemaskan orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu Temunggul. Bukankah kau ingin membawa kami bermalam di rumah orang lain?”

“Ratri,” tiba-tiba terdengar suara Temunggul, “Aku hanya memerlukan waktu sebentar.”

“Besok masih banyak waktu Temunggul. Aku minta maaf, kali ini aku sudah terlampau lelah. Keringat terasa terlampau dingin sejak saat aku dicengkam oleh ketakutan. Sekarang agaknya perasaan takut itu masih saja menguasai jantungku.”

Temunggul menarik nafas dalam-dalam.

“Hem,” ia berdesah di dalam hati. “Kalau sejak tadi aku menyatakannya, persoalanku pasti sudah selesai.”

Dan kini ia mendengar Ratri berkata lagi, “Maafkan aku Temunggul. Aku ingin segera masuk ke rumah. Dengan demikian aku akan merasa aman.”

“Baiklah,” jawab Temunggul. “Marilah.”

Keduanya pun kemudian mendorong pintu regol perlahan-lahan dan hilang menyusup ke dalamnya. Dengan hati-hati mereka melintasi halaman, naik ke pendapa.

“Ratri,” Temunggul berbisik ketika Ratri hampir mengetuk pintu pringgitan. “Aku tidak ingin memaksamu untuk mempersoalkannya sekarang. Agaknya keadaan sama sekali tidak menguntungkan meskipun sudah aku rancangkan berhari-hari. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat yang muncul dengan tiba-tiba telah merusak semua rencanaku.” Temunggul berhenti sejenak, kemudian, “Namun meskipun demikian, Ratri, aku masih juga ingin menyampaikan kepadamu, bahwa aku telah menumpahkan harapanku sebagai seorang laki-laki kepadamu. Kau pasti tahu maksudku.”

Meskipun Ratri tidak menduga, namun kata-kata Temunggul yang berterus terang itu telah menggoncangkan dadanya. Sejenak ia berdiri membeku ditempatnya. Kepalanya menunduk dalam-dalam dan bibirnya seakan-akan telah terkunci.

Namun tanpa dapat diucapkannya, Ratri sama sekali tidak pernah merasa, bahwa anak muda yang bernama Temunggul, dan yang kini memegang pimpinan anak-anak muda pengawal Kademangan itu telah dapat memikat hatinya. Ia mengagumi Temunggul sebagai seorang laki-laki yang perkasa. Selebihnya daripada itu, tidak ada sama sekali. Memang, pada saat-saat ia terjepit, pada saat-saat ia dihadapkan pada bencana yang tidak terbayangkan itu, ia seakan-akan menggantungkan harapannya kepada anak muda yang selama ini menjadi kebanggaan seluruh Kademangan. Tetapi ternyata ia tidak berhasil berbuat sesuatu. Justru orang lain yang belum dikenalnya sama sekali telah menolongnya dan menyelamatkannya, entah disengaja atau tidak.

Dengan demikian, maka sikapnya terhadap Temunggul pun tetap tidak berubah. Seandainya Temunggullah yang menyelamatkannya, maka sudah pasti, ia tidak akan ingkar lagi, tetapi yang terjadi adalah lain.

Karena Ratri tidak segera menyahut, maka Temunggul mendesaknya. “Apakah aku dapat mengharap?”

Ratri menjadi kian bingung.

Namun sebelum ia tersudut dalam keharusan untuk menjawab, terdengar ayahnya terbatuk-batuk di dalam.

“Ayah sudah bangun,” desisnya.

Temunggul menjadi kecewa. Tetapi ia pun mendengar suara batuk-batuk itu, dan bahkan kemudian suara pembaringan berderit.

“Ayah sudah bangun.”

“Baiklah,” jawab Temunggul. “Aku mengharap jawabanmu lain kali.”

Ratri terdiam. Kepalanya kini tertunduk dalam-dalam. Dalam pada itu ia mendengar langkah ayahnya berdesir pada lantai yang kasar.

“Siapa itu?” terdengar suara ayahnya.

“Aku ayah, Ratri.”

“Oh,” langkah ayahnya itupun kemudian mendekati pintu. Sejenak kemudian pintu itu berderit dan terbuka. “Kenapa kau baru datang?” suara ayahnya berat parau.

“Pertunjukan sampai jauh malam ayah.”

“Omong kosong. Aku melihat di Kademangan. Sampai pertunjukan selesai aku baru pulang. Dan setelah aku sempat tidur baru datang. Kemana saja kau selama ini he?”

Wajah Ratri menjadi pucat. Tetapi ia mencoba menjawab, “Aku harus mengemasi pakaian tariku ayah. Kemudian menunggu kawan-kawan yang lain selesai pula.”

“Kenapa mesti menunggu.”

“Pakaian kami bercampur baur ayah, sehingga kalau ada kekurangan pada seorang kawan, kami masih sempat meneliti semua pakaian yang ada.”

Ayahnya menarik nafas. Tetapi wajahnya masih berkerut-kerut. Ketika terlihat olehnya bayangan di dalam kegelapan, maka sambil menggosok-gosok matanya yang masih setengah terpejam ia bertanya, “Siapakah yang mengantarkan kau itu?”

“Temunggul ayah.”

“He,? ayahnya terperanjat. Dan tiba-tiba saja sikapnya segera berubah. Sambil tersenyum ia kemudian berkata. “Maaf ngger. Aku tidak tahu kalau kau telah sudi mengantarkan anakku. Kalau aku tahu, bahwa anakku pulang bersama kau, maka aku tidak akan mencemaskannya.”

Bagaimanapun juga Temunggul terpaksa tersenyum pula sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam.

“Aku sengaja mengantarkannya sampai ke muka pintu paman, supaya aku dapat menyerahkannya kepada paman.”

“Terima kashi.” sekali lagi ia tersenyum sambil mempersilahkan. “Marilah ngger, silakan singgah sebentar.”

“Sudah terlampau jauh malam paman. Aku minta diri.”

Ayah Ratri mengerutkan keningnya, jawabnya,”Jadi kau tidak mau singgah?”

“Terima kasih. Lain kali aku akan memerlukan datang kemari paman.”

Laki-laki tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah ngger. Baiklah. Aku sangat berterima kasih karena kau sendirilah yang mengantarkannya.”

“Kami para pengawal telah membagi kerja paman.”

“Terima kasih ngger, “ dan sekali lagi laki-laki tua bergumam. “Terima kasih.”

Temunggul pun kemudian minta diri. Dengan hati yang dipenuhi oleh pertanyaan dan harapan, ia turun dari pendapa. Ketika ia berpaling, yang dilihatnya tinggal ayah Ratri saja yang masih berdiri di muka pintu.

“Aku belum mendapat jawaban,” desisnya. “Tetapi mudah-mudahan aku tidak salah mengerti. Sepengetahuanku, belum ada seorang pun yang mendahului aku.”

Dan tiba-tiba saja Temunggul menggeram ketika diingatnya, bahwa Bramanti telah kembali ke rumah ibunya. Terbayang kembali pertemuan antara keduanya pada saat Bramanti menginjakkan kakinya kembali di tanah kelahirannya, setelah beberapa tahun lamanya menghilang. Dan yang pertama-tama sekali ditemuinya pada saat itu adalah Ratri

Tiba-tiba Temunggul menggeram tepat ketika ia sudah berada di luar regol. Didorongnya pintu regol itu, dan dengan langkah yang tergesa-gesa ia meninggalkannya.

“Tetapi aku kira kata Bramanti bahwa ia tidak sengaja menemui Ratri pada saat itu,” Temunggul mencoba menenangkan hatinya sendiri. Namun kemudian, “Tetapi apabila ternyata anak itu berkhianat, maka aku akan membuat perhitungan tanpa belas kasihan. Aku akan menyeretnya keluar dari Kademangan ini di hadapan Ratri.”

Namun kemudian Temunggul itu mengumpat, “Anak-anak Panembahan Sekar Jagat itu benar-benar gila. Mereka telah merusak suasana yang aku bangun dengan susah payah, sehingga Ratri terlampau di cekam oleh ketakutan. Kalau tidak, barangkali Ratri akan mendengar pengakuanku sambil tersenyum atau bahkan sambil tertawa. Tetapi kini, aku terpaksa mengulanginya pada kesempatan yang belum pasti.

Tanpa disengaja, maka langkah Temunggul itupun menjadi semakin lebar. Ia sama sekali tidak berhasrat lagi kembali ke Kademangan.

“Persetan dengan Kademangan. Biarlah anak-anak yang bertugas ronda mengurusnya.”

Tetapi tiba-tiba diingatnya seorang kawannya mendapat beban dari orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar untuk membawa seorang anak buah Wanda Geni yang terluka. Dengan demikian maka ia menjadi ragu-ragu. Tetapi kepepatan hatinya yang berpengaruh pada keputusannya, “Terserah Ki Jagabaya. Apakah yang akan dilakukannya terhadap orang itu.”

Dan Temunggul pun melangkah semakin cepat pula ke rumahnya. Apalagi ketika terlihat olehnya warna kemerah-merahan telah membayang di langit.

Sementara itu ayah Ratri telah menutup pintunya kembali dan menyelaraknya dengan kayu menyilang. Kemudian dengan wajah yang jernih ia bertanya, “Kenapa angger Temunggul sendiri yang mengatarmu Ratri. Kenapa bukan orang lain, atau kenapa angger Temunggul tidak mengantar orang lain?”

Sambil membenahi pakaian-pakaiannya yang kusut di dalam bungkusan kecilnya, Ratri menjawab, “Aku tidak tahu ayah.”

“Ah, kau pasti tahu sebabnya.”

Tetapi Ratri menggeleng. “Aku tidak tahu.”

Ayahnya menarik nafas panjang-panjang sambil duduk di atas sebuah dingklik bambu. “Anak itu benar-benar luar biasa. Aku kira tidak ada duanya di Kademangan ini. Angger Temunggul adalah harapan masa datang bagi Kademangan ini. Apabila kami yang tua-tua menjadi semakin tua, maka angger Temunggul pasti akan tampil. Sayang ia bukan putera Ki Demang yang akan dapat menggantikan kedudukan itu. Meskipun demikian, ia pasti akan menjadi seorang yang penting di Kademangan ini kelak. Jangankan kelak, sekarang pun ia sudah termasuk salah seorang yang kami anggap penting.”

Ratri tidak menjawab. Ia langsung masuk ke dalam biliknya setelah menenguk air dingin dari dalam kendi di atas geledeg rendah.

Tetapi ayah Ratri kemudian berdiri dan mengikutinya. Sambil berdiri di depan pintu bilik ia berkata, “Kau harus bersikap baik terhadapnya Ratri. Temunggul adalah pemimpin dari seluruh anak-anak muda di Kademangan ini.”

Ratri tidak menjawab. Direbahkannya dirinya di atas pembaringannya.

“Apakah kau tidak berganti pakaian dahulu, atau makan seadanya? Agaknya ibumu telah menyediakannya untukmu.”

“Tidak ayah. Aku lelah sekali. Aku ingin segera tidur.

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ditinggalkannya pintu bilik anaknya. Namun kemudian ia tersenyum sendiri. Katanya di dalam hati, “Ratri adalah seorang gadis yang sedang meningkat remaja. Ia lebih senang merenung di pembaringannya dari pada makan. Hem.”

Orang tua itu pun kemudian pergi ke pembaringannya pula. Sekali ia menguap. Namun sejenak kemudian yang terdengar adalah dengkurnya yang taratur.

Tetapi sementara itu Ratri juga merenung di dalam biliknya. Ditatapnya atap rumahnya, seakan-akan ia baru menghitung raguman bamboo yang berderet-deret di atas pembaringannya.

Sekali-kali terdengar ia berdesah. Berbagai macam masalah telah bergelora di dalam dadanya. Ketakutan, kecemasan dan kebingungan bercampur baur di dalam hatinya. Sesaat bayangan kekasaran dan keganasan orang-orang yang menyebut dirinya pengikut Panembahan Sekar Jagat. Kemudian terlintas bayangan orang yang mengaku bernama Putut Sabuk Tampar. Dan yang terakhir, terbayang wajah Temunggul yang pucat, namun penuh harapan.

“Apakah akan jadinya aku sekarang seandainya tidak ada orang yang menamakan dirinya Putut Sabuk Tampar itu,” desah Ratri di dalam hatinya.”Mungkin aku telah membunuh diriku. Dan ayah ibu tidak akan dapat melihat aku lagi, meskipun hanya mayatku.”

Ratri menutup wajahnya dengan keduabelah tangannya. Namun bayangan yang menakutkan itu masih saja tampak di rongga malamnya, justru semakin jelas.

“Oh,” Ratri kemudian menelungkup. Tetapi bayangan-bayangan itu masih juga tidak mau lenyap dari kepalanya.

Karena itu, maka untuk seterusnya Ratri sama sekali tidak berhasil untuk tidur sekejap pun. Bahkan tanpa sesadarnya, terasa cairan hanyat membasahi pipinya. Ratri menangis bagaimanapun juga ia bertahan. Untunglah, bahwa tidak seorangpun seisi rumah itu yang terbangun karenanya, sehingga ia tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan membuatnya semakin bingung.

Apalagi Ratri sendiri menyadari, bahwa terusirnya Wanda Geni belum berarti bahwa bahaya yang sebenarnya telah hilang sama sekali. Sebab setiap saat Wanda Geni itu dapat datang kembali. Dan sudah barang tentu, ia tidak akan dapat mengharapkan bahwa setiap saat Putut Sabuk Tampar itu dapat selalu membantunya dan menyelamatkannya dari keganasan Wanda Geni.

“Tetapi Putut Sabuk Tampar sendiri, adalah orang yang ingin merampas semua kekayaan dari Kademangan ini,” berkata Ratri di dalam hatinya. Namun di hati kecilnya ia melihat beberapa perbedaan antara Wanda Geni dan Putut Sabuk Tampar. Putut itu mempunyai perbawa yang menarik perhatiannya, meskipun ia belum mengenal sebelumnya.

“Mungkin aku merasa berhutang budi kepadanya,” desisnya perlahan-lahan.

Ratri mengusap matanya yang basah ketika ia mendengar suara kokok ayam di kandang. Semakin lama semakin riuh.

“Hampir pagi,” ia bergumam. Dan ia sama sekali masih belum tidur sekejap pun juga.

Tetapi ketika ibunya menjengkuknya dari sela-sela pintu biliknya ia berpura-pura memejamkan matanya, supaya ibunya menyangka bahwa ia sedang tidur lelap.

“Ia terlampau lelah,” berkata ibunya kepada dirinya sendiri. Lalu ditinggalkannya. Ratri di pembaringannya, untuk merebus air di dapur.

Di pagi harinya, ketika Ratri keluar dari dalam biliknya, ibunya melihat matanya yang pendul. Karena itu dengan cemas ibunya bertanya, “Apakah kau semalam menangis Ratri?”

Ratri menggeleng. “Tidak ibu, kenapa aku menangis?”

Ibunya memandang mata Ratri itu tajam-tajam. “Kau menangis semalam,” ulang ibunya. “Aku tidak melihat kau pulang. Tetapi pendul di matamu itu tidak dapat kau sembunyikan.”

“Aku kurang tidur ibu. Sampai hampir pagi aku memang tidak dapat tidur karena kelelahan.”

“Kau aneh,” jawab ibunya. “Orang yang lelah biasanya akan dengan mudahnya tertidur.”

Ratri tidak dapat menjawab lagi. Tetapi ia pun tidak mengiakannya. Agaknya ibunya tidak memaksanya untuk mengakui bahwa semalam ia menangis. Sebagai seorang ibu, ia menyadari, bahwa umur anaknya adalah umur yang sedang dibelit oleh berbagai macam hiruk pikuk kehidupan. Mungkin Ratri sedang berselisih dengan kawan-kawannya, mungkin ia gagal mempertunjukkan puncak kemampuannya semalam atau mungkin ia sedang dipengaruhi oleh perasaan seorang gadis yang meningkat dewasa menanggapi kawan-kawan laki-lakinya. Karena itu dibiarkannya saja Ratri masih tetap untuk mencuci mukanya. Kemudian masuk kembali ke dalam biliknya membenahi rambut dan mengganti pakaiannya yang kusut.

Namun bagaimanapun juga Ratri masih tetap dibayangi oleh perasaan takut. Adalah mungkin sekali Wanda Geni datang disetiap saat untuk mengambil dan membawanya ke neraka yang paling jahanam.

Dengan demikian maka sehari-harian Ratri menjadi suntrut. Wajahnya suram dan sama sekali ia tidak bernafsu untuk makan. Apalagi apabila diingatnya pula kata-kata Temunggul yang berterus terang. Maka hatinya menjadi semakin kacau. Karena ternyata bahwa Temunggul tidak akan dapat melindunginya. Seandainya ia terpaksa menerima Temunggul dan menempatkan anak muda itu di dalam hatinya, namun kemudian ia terpaksa harus terjun ke dalam sarang iblis itu, apakah yang dapat dilakukan oleh Temunggul?

Orang tua Ratri tidak dapat menutup penglihatannya tentang anak gadisnya. Karena itu, maka setiap kali ibunya selalu bertanya, apakah Ratri sedang sakit.

“Aku terlampau lelah bu. Mungkin karena aku terlampau kurang tidur. Badanku rasanya tidak enak, dan bahkan kepalaku amat pening.”

“Beristirahatlah.”

Ratri tidak menyahut. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.

Di hari berikutnya, Ratri masih belum dapat melepaskan ketakutannya. Bahkan semalam-malam ia hampir tidak tidur lagi. Hanya karena lelah yang amat sangat, ia terlena untuk beberapa saat menjelang dini hari.

“Ratri,” bertanya ibunya. “Sebaiknya kau berterus terang. Kau pasti tidak hanya sekadar lelah dan kantuk. Aku melihat wajahmu terlampau muram.”

Semula Ratri tetap bertahan, dan menyimpan semua peristiwa yang dialaminya. Namun akhirnya ia tidak dapat tetap berdiam diri. Ketakutan, kecemasan dan kebingungan yang menghentak-hentak dadanya akhirnya meledak juga. Diceriterakannya semua yang dialaminya. Namun yang masih disimpannya adalah pengakuan Temunggul terhadapnya. Ia tidak ingin mempersoalkan masalah itu dengan ayah dan ibunya sekarang. Yang diceriterakan semata-mata adalah persoalan Wanda Geni, orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar dan kegagalan Temunggul melawan mereka.

Tiba-tiba wajah ayah Ratri menjadi tegang. Dengan serta merta ia berkata lantang, “Nah, bukankah aku sudah berkata, jauh sebelum peristiwa ini terjadi. Bahkan pada saat Ratri tergila-gila untuk belajar menari. Apakah manfaatnya belajar menari. Inilah. Inilah akibat yang paling jelas kita lihat sekarang.”

“Pak,” berkata isterinya memotong kata-kata suaminya. “Jangan menyalahkan Ratri. Kalau itu dianggap bersalah, biarlah kesalahan itu tidak kita persoalkan lagi sekarang. Semuanya sudah telanjur.”

“Begitulah. Begitulah akhirnya. Sudah telanjur”.

“Bukankah demikian keadaannya?” jawab ibu Ratri, lalu “kini Ratri sedang bingung. Bagaimana mengatasi persoalan ini. Jangan menambah Ratri menjadi semakin bingung. Dan apakah seandainya Ratri dianggap bersalah, kita akan terpancang pada kesalahan itu, dan membiarkannya diseret oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat?”

“Tentu tidak. Tentu tidak,” sahut ayah Ratri cepat-cepat.

“Itulah masalahnya. Bagaimana?”

Laki-laki itu tidak segera menjawab. Tetapi kini kepalanya tepekur. Ia mengerti, betapa hati anaknya dicengkam oleh ketakutan. Memang setiap saat Wanda Geni dapat datang ke rumahnya. Seperti saat-saat ia mengambil pendok emas atau mengambil timang tretes berlian, maka ia akan dapat mengambil Ratri.

Namun setiap kali ia masih saja menyesali Ratri, bahwa ia tidak menurut nasehatnya dahulu, dan setiap kali ibunya selalu memperingatkan, bahwa yang penting adalah menyelamatkan Ratri.

“Aku belum tahu, apakah yang sebaiknya aku lakukan,” berkata laki-laki itu seakan-akan ditujukan kepada dirinya sendiri. Dengan langkah yang berat ia berjalan mondar-mandir.

“Apakah Ratri perlu bersembunyi?” bertanya isterinya.

“Dimana ia akan dapat bersembunyi di Kademangan ini,” desis ayahnya.

“Lalu apakah yang sebaiknya kita lakukan?” ibunyapun kemudian dicengkam oleh kecemasan.

“Aku akan minta perlindungan Ki Demang dan Ki Jagabaya. Aku akan ke Kademangan. Mungkin mereka dapat memberikan jalan keluar dari kesulitan semacam ini. Kalau perlu, biarlah Ratri untuk sementara berada di Kademangan sampai keadaan menjadi reda. Kalau kita yakin bahwa Wanda Geni telah tidak kembali lagi, maka biarlah Ratri nanti pulang ke rumah ini.”

“Kapan kita dapat menentukan waktu itu, waktu dimana kita dapat mengambil keputusan, bahwa Wanda Geni tidak akan kembali lagi.”

“Kita akan dapat merasakannya. Meskipun aku tidak dapat mengatakan dengan tepat, kapan. Tetapi seandainya Wanda Geni masih tetap pada pendiriannya, pasti ia akan kembali dalam waktu singkat.”

Isterinya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Terserahlah kepadamu pak. Tetapi Ratri harus diselamatkan.”

Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku akan pergi ke Kademangan. Setidak-tidaknya aku akan mendapat nasehat. Bagaimana aku harus menyelamatkan anakku ini.”

Ayah Ratripun kemudian pergi ke Kademangan menemui Ki Demang dan Ki Jayabaya, untuk meminta perlindungan dari mereka terhadap anaknya yang sudah jelas terancam bahaya. Bahaya yang sangat mengerikan bagi seorang gadis. Karena apabila Ratri itu berhasil dibawa ke sarang iblis-iblis itu, maka ia pasti akan kehilangan. Ratri pasti akan menempuh cara yang bagaimanapun juga untuk menghapus malu. Bahkan mungkin ia akan membunuh diri.”

Ketika ayah Ratri sampai ke regol Kademangan, ia menjadi heran. Di Kademangan itu dilihatnya beberapa anak-anak muda pengawal Kademangan telah berkumpul. Bahkan Temunggulpun telah ada di halaman itu pula. Di pendapa dilihatnya Ki Demang, Ki Jayabaya dan beberapa orang bebahu Kademangan yang lain. Namun di antara mereka terdapat seseorang yang asing baginya.

“Orang itukah yang telah disebut-sebut Ratri sebagai salah seorang pembantu Wanda Geni yang terluka?” pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya.

Karena itu, maka ayah Ratri tidak segera masuk ke dalam regol. Ia berhenti sejenak di luar sambil melihat suasana. Ketika dilihatnya seorang pengawal yang berdiri di depan regol, maka ayah Ratri itu mendekatinya sambil bertanya, “Kenapa halaman ini kelihatan sangat sibuk?”

“O,” pengawal yang telah mengenal ayah Ratri itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Kami akan melepaskan seorang tawanan kami.”

“Tawanan? Yang mana?”

“Itu, yang duduk di pendapa bersama Ki Demang.”

Ayah Ratri mengerutkan keningnya. Sikap orang itu sama sekali tidak membayangkan sikap seorang tawanan. Bahkan melampaui seorang tamu yang sangat dihormat.

“Orang itu terluka ketika ia berkelahi melawan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar.”

Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Dalam keadaan luka itulah ia dapat ditawan oleh salah seorang anggota pengawal Kademangan.”

Ayah Ratri masih mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi ia menuntut untuk dibebaskan.”

“Dan tuntutan itu dikabulkan oleh Ki Demang?”

Pengawal itu menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Setelah melalui banyak sekali pertimbangan dan pembicaraan. Akhirnya kami mengambil keputusan untuk melepaskannya, demi keselamatan seluruh Kademangan.”

Sekali lagi ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Tetapi bukankah ia terluka?” bertanya ayah Ratri kemudian.

“Ya, tetapi luka itu sudah diobati. Agaknya orang itu merasa bahwa ia sudah cukup kuat untuk kembali ke induknya. Ia minta kami memberikan seekor kuda.”

Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya, mengangguk-angguk dan mengangguk-angguk. Namun sejenak kemudian ia harus meloncat menepi ketika seekor kuda yang tegar meloncat berlari menyusup regol halaman, berpacu dengan cepatnya meninggalkan debu yang tipis berhamburan di jalan-jalan berbatu.

“Itulah orangnya,” desis pengawal itu.

Berbagai tanggapan bergolak didalam dada orang tua itu. Ia kadang-kadang merasa bersyukur bahwa Ki Demang cukup bijaksana, sehingga orang-orang Panembahan Sekar Jagat tidak terlampau mendendam Kademangan ini, termasuk anaknya. Tetapi apabila diingatnya, sikap orang-orang itu terhadap anaknya, maka kebenciannya pun segera memuncak.

Setelah orang berkuda itu hilang di tikungan, maka orang tua itupun menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia berkata perlahan-lahan kepada pengawal yang kini berdiri diseberang jalan di depan regol itu. “Aku akan menemui Ki Demang.”

“Silakan,” jawab pengawal itu.

Ayah Ratri itu pun kemudian memasuki halaman Kademangan dan langsung minta kepada salah seorang bahu Kademangan untuk bertemu dengan Ki Demang.

Setelah mereka duduk di pendapa, maka ayah Ratri itu pun langsung menyampaikan persoalannya dan kesulitan-kesulitannya kepada Ki Demang dan Ki Jagabaya yang hadir pula disitu.

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Ki Jagabaya mendengarkan dengan wajah yang tegang.

“Aku minta perlindungan Ki Demang. Anakku selalu dicengkam oleh ketakutan yang luar biasa. Ia tidak mau makan sama sekali dan semalam hampir tidak dapat tidur sekejappun.

Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling kepada Temunggul yang duduk pula di antara mereka. Katanya, “Jawablah persoalan yang dikatakan oleh ayah gadis yang menjadi masalah itu.”

Wajah Temunggul sekilas dibayangi oleh warna merah. Namun kemudian ia beringsut maju. Katanya, “Kami disini sudah membicarakannya paman. Ketika kami mendengar permintaan tawanan kami itu untuk mengajukan syarat. Orang itu akan kami lepaskan, tetapi ia harus menjamin, bahwa kawan-kawannya selanjutnya tidak akan berbuat sebuas itu lagi terhadap gadis-gadis.”

Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Temunggul meneruskannya, “Orang itu telah menyanggupinya.

“Tetapi,” potong ayah Ratri. “Orang itu bukan orang tertinggi di antara mereka. Meskipun ia menyanggupinya tetapi atasannya tetap berpendirian demikian.”

“Tidak paman,” jawab Temunggul. “Ternyata Panembahan Sekar Jagat sama sekali tidak membenarkan tindakan-tindakan serupa itu. Sudah tentu ia akan marah, apabila ia mendengar bahwa salah seorang anak buahnya telah melanggar pantangan itu.”

“Darimana kau tahu?”

“Tawanan kami inilah yang mengatakannya. Wanita bagi Panembahan Sekar Jagat adalah suatu persoalan yang tidak ada manfaatnya. Ternyata bahwa Panembahan Sekar Jagat sendiri menurut pendengaran kami lewat tawanan kami itu, juga tidak pernah kawin sepanjang umurnya.”

Ayah Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Hatinya menjadi sedikit lapang mendengar penjelasan itu, meskipun masih juga timbul keragu-raguan.

“Apakah orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu masih juga dapat dipercaya,” pertanyaan itu selalu mengganggu pikirannya. Tetapi kegelisahan didadanya sudah tidak lagi melonjak-lonjak seperti pada saat ia pergi ke Kademangan.

Orang tua itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Temunggul meneruskan. “Meskipun demikian, aku akan selalu berusaha untuk mengawasi mereka, paman. Kalau ada hal-hal yang mencurigakan, maka aku akan segera mengambil tindakan yang akan dapat mengamankan gadis-gadis di Kademangan ini.”

“Terima kasih ngger,” jawab ayah Ratri sambil mengangguk-angguk. “Mudah-mudahan tidak terjadi lagi bencana apapun atas gadis-gadis kita. Kita sudah membiarkan kekayaan kita satu demi satu mereka ambil. Sudah tentu kita tidak akan dapat membiarkan anak-anak kita mereka ambil pula.”

Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya pula. “Kita akan bersama-sama berusaha,” katanya, kemudian, “Dan aku menaruh kepercayaan kepada tawanan yang kita lepaskan tadi. Agaknya ia berbicara dengan sungguh-sungguh. Bahkan ia berjanji, kalau Wanda Geni masih akan mengulangi perbuatannya, ia akan mengadukan kepada Panembahan Sekar Jagat. Sebab dengan demikian, hal itu akan dapat mengganggu kelancaran pekerjaan mereka, memungut harta dan kekayaan tidak saja di Kademangan ini.”

“Dan sebentar lagi kita akan melihat dua kekuatan berbenturan,” desis ayah Ratri.

“Antara siapa?” bertanya Ki Jagabaya dengan serta merta.

“Bukankah angger Temunggul dimalam itu bertemu tidak saja dengan orang-orang Panembahan Sekar Jagat, tetapi juga hadir sesorang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar dan mengaku sebagai seorang utusan dari Resi Panji Sekar?”

Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, Kademangan ini akan menjadi ajang pertentangan dari orang-orang lain. Dan kita sama sekali tidak berbuat apa-apa.”

“Jangan bermimpi Ki Jagabaya,” potong Ki Demang, “Kita sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk berbuat sesuatu.”

“Bagaimana dengan anak-anak kita? Ternyata Temunggul telah memulainya. Dan ternyata orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu adalah orang-orang biasa, yang dapat luka oleh senjata.”

Tetapi apakah kita mengetahui jumlah kekuatan mereka yang sebenarnya?” sahut Ki Demang. “Kita tidak boleh mempertaruhkan Kademangan ini untuk memberikan kepuasan kepada beberapa pribadi saja. Kita harus menghitungkannya, apa yang pantas dan dapat kita lakukan.”

Ki Jagabaya tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ia menjadi kecewa, seperti setiap kali ia mempercakapkan masalah itu, ia pun selalu menjadi kecewa.

Dan setiap kali ia berbicara masalah itu, ia selalu terdiam sambil menahan hati. Ki Demang kurang mempunyai keberanian menjajagi kekuatannya, meskipun Ki Jagabaya dapat juga mengerti, bahwa Ki Demang ingin berbuat dengan sangat hati-hati.

Yang terdengar kemudian adalah kata-kata Ki Demang kepada ayah Ratri, “Pulanglah. Kita akan memperhatikan nasib gadis-gadis kita. Kita akan menemukan cara yang sebaik-baiknya tanpa mengorbankan seluruh Kademangan kita ini.”

“Terima kasih,” jawab ayah Ratri. “Setiap ada persoalan tentang anak-anakku, aku akan menyerahkannya kepada Ki Demang dan orang-orang lain yang seharusnya memang bertanggung jawab.”

Ki Demang tersenyum sambil berkata, “Jangan takut.”

Ayah Ratri pun kemudian meninggalkan Kademangan dengan hati yang agak lapang. Disampaikannya semua pembicaraannya kepada istri dan anaknya, sehingga keduanya pun menjadi agak tenang. Di tambah-tambahinya keterangan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Temunggul agar anak dan istrinya itu tidak selalu diburu oleh keragu-raguan dan kecemasan.

“Orang itu menyanggupkan dirinya menjadi taruhan,” berkata ayah Ratri kepada anak dan istrinya. “Kalau Wanda Geni masih akan mengulangi perbuatannya, ia akan menyampaikannya kepada Panembahan Sekar Jagat. Sebab Panembahan Sekar Jagat sama sekali tidak menghendaki hal-hal serupa itu dapat terjadi. Bukan karena kebaikan hatinya, tetapi semata-mata karena ketamakannya akan harta benda, sehingga persoalan serupa itu akan dapat mengganggu usahanya mengumpulkan benda-benda berharga dari Kademangan ini.”

Istri dan anaknya mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi seperti ayah Ratri itu, sebenarnya, mereka masih menyimpan keragu-raguan di dalam hati.

Bersambung…

________________________
Pengarang dan Hakcipta© oleh : Singgih Hadi Mintardja
Di kompilasi ulang oleh : Daniel SNS (taxdsns@yahoo.com)

Tinggalkan komentar